Warga Desa Wonoagung Mengolah Umbi Beracun Untuk Hasilkan Cuan

Jelajah Ekonomi Desa - Kontan
Ilustrasi. Proses penjemuran untuk pembuatan keripik gadung di Desa Wonoagung, Kasembon, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Jumat, 07 Juli 2023 | 13:46 WIB

Reporter: Lidya Yuniartha, Wahyu Tri Rahmawati

Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - MALANG. Masih pagi buta, Mukasanah, warga di Dusun Sempu Kidul, Desa Wonoagung, Kecamatan Kasembon, Kabupaten Malang sudah sibuk. Dia mempersiapkan berbagai hal, mulai dari merebus air hingga menyiapkan umbi-umbi gadung yang telah direbus untuk dijemur pagi harinya.

Dusun Sempu Kidul memang menjadi salah satu dusun di Desa Wonoagung yang mayoritas warganya mengolah gadung untuk dijadikan keripik.

Dari total 150 kepala keluarga (KK) setidaknya ada 50 KK yang memproduksi umbi beracun ini menjadi keripik. Bahkan, menjelang lebaran tiba, keluarga yang tadinya tidak memproduksi keripik gadung ikut membuatnya.

"Kalau lebaran bisa penuh sedusun yang membuat. Permintaannya saat lebaran itu tinggi. Banyak yang ke sini mencari," ujar Mukasanah sambil mengatur keripik-keripik secara rapi sebelum dijemur.

Baca Juga: Peternak Sapi Perah Wonoagung Perlahan Bangkit Usai Diserang PMK

Warga Wonoagung mengupas umbi gadung.

Mukasanah bercerita, membutuhkan waktu setidaknya 5 hari untuk menghasilkan keripik gadung ini. Pengolahannya harus benar, agar tidak ada racun yang tertinggal.

Menurutnya, di hari pertama gadung tersebut harus dikupas dan dipotong-potong lebih dulu. Setelahnya diberi abu dapur beserta garam dan didiamkan satu malam.

Pagi harinya, umbi yang sudah dibaluti abu dijemur selama setengah hari, lalu dibersihkan hingga tidak ada lagi abu tersisa. Setelahnya, gadung tersebut direndam lagi selama dua malam.

Setiap hari dicuci selama 3 kali dan direbus sebelum akhirnya dijemur di bawah terik matahari. Penjemuran gadung ini tergantung kondisi matahari. 

"Kalau cuaca cerah bisa sehari, tetapi kadang bisa 2-3 hari. Tergantung musimnya," ujar Mukasanah.

Baca Juga: Menyecap Cuan Manisnya Harga Manggis Sudarsono Getol Menambah Pohon di Desa Wonoagung

Biasanya, Mukasanah terus memproduksi umbi gadung ini menjadi kerupuk. Setidaknya ada 1 hingga 1,5 kuintal gadung yang diolah per hari. Mukasanah menyebut, bila gadung tidak diolah tiap hari bisa merugikan pembuatnya mengingat proses produksinya membutuhkan waktu berhari-hari. 

Belum lagi gadung yang baru dipanen harus segera diolah dalam waktu maksimal dua hari. Bila tidak, gadung tersebut bisa rusak dan keripik yang dihasilkan pecah dan ukurannya kecil.

Menjemur umbi gadung untuk pembuatan keripik.

Mukasanah menyebut, 1 kuintal gadung akan menghasilkan 15 kilogram (kg) hingga 16 kg keripik gadung. Namun, besaran tersebut bila gadung yang diterima dalam kualitas baik. Bila ada yang rusak bisa jadi hanya sekitar 10 kg -12 kg.

Nantinya, keripik gadung tersebut pun dijual dalam bentuk mentah, tanpa digoreng lebih dulu. Harga yang mereka dapatkan hanya sebesar Rp 27.000-Rp 30.000 per kg. Di waktu lebaran, harganya bisa mencapai Rp 40.000 per kg. Sementara, harga bahan baku atau 1 kuintal umbi gadung dihargai Rp 130.000. Ini belum termasuk harga bahan lainnya seperti garam dan lainnya.

Baca Juga: Desa Wonoagung Genjot Pendapatan Desa dari Pariwisata Hingga Pertanian

Meski banyak yang menghasilkan keripik gadung di dusun ini, bukan berarti Mukasanah dan pembuat gadung lainnya tidak menghadapi hambatan. Mukasanah menyebut, salah satu kesulitan yang mereka hadapi adalah menjual gadung yang mereka produksi. Pasalnya, mereka harus menjual gadung yang mereka punya terhadap pembeli yang sudah memiliki merek atau label.

Dia juga menyebut, banyak pembeli yang mencari keripik dalam kemasan kecil, sementara mereka menjual keripik gadung dalam jumlah yang besar. Tetapi, Mukasanah menyebut, pihaknya sudah memiliki pembeli rutin yang berasal dari Batu, Jawa Timur.

Bukan hanya itu, tantangan lain yang mereka hadapi adalah musim hujan. Mukasanah menerangkan, saat musim hujan, mereka memilih untuk tidak memproduksi gadung karena kualitas keripik yang dihasilkan menurun. Misalnya warnanya yang kuning karena tidak terkena sinar matahari yang cukup. Bila warnanya kuning, harganya pun menjadi murah. "Sementara biaya pembuatannya sama," ujar Mukasanah.

Warga menjemur irisan umbi gadung.

Bukan hanya dari sisi harga bahan baku, pihaknya pun memilih untuk tidak memproduksi keripik gadung saat musim hujan karena tenaga yang dibutuhkan untuk mengolah keripik ini lebih besar pula. 

Pasalnya, saat penjemuran, keripik yang dijemur bisa diangkat berkali-kali. Nah, biasanya waktu produksi gadung ini dimulai dari bulan Maret hingga September. Biasanya warga di dusun ini memang memiliki pekerjaan lain, seperti bertani. Mukasanah misalnya yang menjadikan produksi keripik gadung sebagai pekerjaan sampingan.

Baca Juga: Desa Wonoagung Genjot Pendapatan Desa dari Pariwisata Hingga Pertanian

Hal lain yang menjadi hambatan dalam memproduksi keripik ini bila terjadi kenaikan harga bahan baku seperti garam. Ada juga kesulitan mendapatkan bahan baku gadung. Mukasanah menyebut, kendalanya bukan dari ketersediaan gadung tetapi dari tenaga kerja yang mungkin tidak tersedia untuk memanen atau mengantarkan gadung. 

"Bahan bakunya ini didapatkan dari sekitar Wonoagung. Ada yang dari Kecamatan Kasembon, ada dari Ngantang," tutur Mukasanah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Tag

Berita Terkait

Jelajah Ekonomi Desa Kontan
Didukung oleh:
BRI
OJK
Barito Pacifik
Bukopin
PLN
BNI
Rukun Raharja
BSI
Cimb Niaga
Telkom
Telkom
XL Axiata
Mandiri
logo astragraphia
logo modalku
tokio marine