KONTAN.CO.ID - MANADO. Pemerintah melalui Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika (BAKTI Kominfo) gencar membangun konektivitas telekomunikasi di wilayah tertinggal, terdepan dan terluar alias 3T.
Salah satu strategi yang digunakan adalah dengan Satelit Republik Indonesia – 1 (SATRIA-1). Satelit berteknologi High-Throughput Satellite (HTS) ini memiliki kapasitas 150 gigabyte per second (Gbps).
Operasional SATRIA-1 saat ini didukung oleh 11 stasiun bumi alias gateway di sejumlah wilayah di Indonesia. Mulai dari Cikarang, Batam, Banjarmasin, Tarakan, Pontianak, Kupang, Ambon, Manado, Manokwari, Timika, hingga Jayapura.
Kesebelas stasiun bumi dipasangi parabola berdiameter 13 meter yang bertugas mengirimkan sambungan internet ke SATRIA-1 untuk kemudian diteruskan ke titik-titik penerima akses internet atau disebut user terminal.
Baca Juga: Belasan Jam Mengarungi Lautan Demi Menginjakkan Kaki di Talaud
Pemilihan lokasi gateway tidak dilakukan secara sembarangan. Ada sejumlah pertimbangan yang dipikirkan sebelum memutuskan mendirikan stasiun bumi di suatu lokasi. Salah satunya adalah soal akses. Karena harus dipasangi parabola berukuran cukup besar, maka lokasi yang dipilih harus memiliki akses jalan yang memadai untuk mengangkut logistik yang diperlukan.
Di sisi lain, lokasi gateway jauh harus jauh dari keramaian. Sehingga potensi intervensi sinyal dari luar bisa diminimalisir.
Jauh di keramaian pun akhirnya menjadi makanan sehari-hari bagi petugas gateway. Padahal kondisi jaringan hingga perangkat harus terus dipantau selama 24 jam per hari, 7 hari seminggu.
Bila ada sensor masalah yang menyala, staf di stasiun bumi harus segera mencari solusi untuk memastikan kondisi jaringan internet bisa sesegera mungkin pulih.
Rico, salah satu petugas di Stasiun Bumi Matungkas yang berada di Kabupaten Minahasa Utara mengisahkan ia bersama tujuh temannya harus berbagi shift kerja di tempat yang sepi. Dalam satu shift, hanya ada dua orang yang bekerja bersamaan memantau setiap indikator kinerja jaringan yang terpampang di layar.
Lokasi gateway tempatnya bekerja memang jauh dari keramaian. "Siang saja sudah sepi apalagi kalau malam," kata Rico saat mengisahkan pengalamannya kepada Tim Jelajah Ekonomi Berkelanjutan KONTAN pada Rabu (28/8).
Karena kurangnya pergaulan di luar pagar stasiun bumi tempatnya beraktivitas, Rico mengaku jarang bisa bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Suka duka yang ia rasa saat bekerja, hanya bisa dibagi dengan teman satu shift.
Kewajiban untuk terus memastikan jaringan internet tetap terjaga juga membuatnya sulit untuk mengambil cuti. Kerinduan dengan anak istri di Gorontalo harus ia tahan dengan sabar karena tak leluasa mendapat libur panjang. Termasuk di hari raya.
Baca Juga: Pasca-Dibatasi, Begini Penjualan Daging Hewan Ekstrem di Pasar Beriman Tomohon
Meski begitu, Rico mengaku sudah mulai terbiasa menghadapi kesepian demi tanggung jawabnya terhadap pekerjaan.
General Manager Service Operation PT Satelit Nusantara Tiga (SNT) Sulthonin selaku perusahaan yang ditunjuk untuk mengoperasikan SATRIA-1 menyebut staf di stasiun bumi seperti Rico bertanggung jawab untuk first level handling alias penanganan masalah tingkat awal. Termasuk untuk mengecek hingga memperbaiki masalah yang terjadi pada hardware yang digunakan.
Mereka juga harus memberikan verifikasi atas sensor yang diterima oleh network operation cente (NOC) yang berada di Cikarang, Jawa Barat. "Misal di NOC terdeteksi kekuatan jaringan turun, staf di stasiun bumi harus melapor apakah disebabkan faktor cuaca atau ada kendala lain," kata Sulthonin.
Berlokasi tersebar di sejumlah daerah diakui Sulthonin memberi tantangan tersendiri pula untuk mencari staf di stasiun bumi. Salah satunya adalah ketersediaan SDM yang memadai.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News