KONTAN.CO.ID - MAGETAN. Di balik gemilangnya Dusun Babadan sebagai contoh ketahanan pangan, ada sosok sederhana namun berpengaruh yakni Ade Maman Eriansyah. Bukan pejabat, bukan pula tokoh nasional, tapi Maman adalah motor perubahan yang menyalakan semangat warga untuk mandiri dan menghidupkan kembali pertanian di tanah kelahirannya.
Di usia 65 tahun, saat banyak orang memilih beristirahat dan menikmati masa pensiun, Maman justru memulai harinya lebih awal dari orang kebanyakan. Setiap pagi sebelum matahari terbit, ia sudah berjalan menuju sawah, menggabungkan rutinitas olahraga dengan komitmennya merawat tanah warisan keluarga.
Sebagai mantan penghulu di Kementerian Agama, Maman mengakhiri masa baktinya sebagai aparatur sipil negara pada tahun 2020. Namun, masa pensiun bukan akhir baginya, melainkan awal dari babak baru yang sudah lama ia persiapkan.
Ia menyadari bahwa masa pensiun tanpa kegiatan justru bisa melemahkan semangat dan kesehatan. “Banyak orang menjelang pensiun malah sakit-sakitan karena tidak ada kegiatan. Saya sudah pikir, kalau pensiun nanti mau apa,” ujar Maman.
Keputusan untuk kembali bertani bukan sekadar karena ia memiliki lahan warisan orangtua. Lebih dari itu, ia merasa punya tanggung jawab moral untuk menjaga kesuburan tanah di Dusun Babadan yang berlokasi di Desa Kepuhrejo, Kecamatan Takeran, Kabupaten Magetan, Jawa Timur itu. Ia melihat tanah bukan sebagai aset yang bisa dilepas kapan saja, tapi titipan yang harus dijaga untuk generasi mendatang.
Maman sejak 2009 menyadari bahwa lahan pertanian di Dusun Babadan sangat rusak akibat ketergantungan pada pupuk kimia. Ketergantungan itu memang bukan tanpa alasan. Sejak dulu tanah di dusun itu tidak mudah digarap untuk ditanami tanaman pangan karena 80% strukturnya terdiri dari pasir dan batu. Mau tak mau, petani beralih memakai pupuk kimia untuk memacu produktivitas.
Sejak saat itu, Maman aktif mengajak warga untuk mulai mengurangi penggunaan pupuk kimia dengan memanfaatkan pupuk kompos. Kala itu, dia belum jadi petani. Ia hanya melakukan edukasi dengan pemahamannya yang terbatas. Prediksi dia saat itu, lahan-lahan di Babadan hanya akan bertahan produktif lima tahun ke depan meski mengkonsumsi banyak pupuk kimia.
Bagi Maman, membiarkan lahan rusak sama saja membuka jalan bagi hilangnya masa depan desa. Ketika tanah tak lagi produktif, bukan tidak mungkin warga akan memilih menjualnya. “Kalau saya diam saja, sebenarnya tak masalah. Secara ekonomi saya dan keluarga masih bisa hidup, saya punya gaji pensiun. Tapi kalau dibiarkan, nanti orang-orang jual tanahnya. Itu bahaya buat keturunan mereka,” jelasnya.
Namun, ajakan-ajakan yang dilakukan Maman tak berbuah hasil. Ia kemudian memutuskan untuk terjun langsung menggarap sawah pada tahun 2013 dan mempraktikkan penggunaan pupuk kompos dengan mengolah sendiri kotoran hewan dan dedauan berbekal pengetahuan yang terbatas. Ia mendalami kondisi tanah secara sederhana dan mencatat perkembangan PH tanah.
Penggunaan pupuk kompos yang diterapkan Maman memang perlahan menyuburkan tanah secara tak signifikan. Kondisi ini membuat langkahnya tak mampu menggugah kemauan warga lain untuk mulai menggunakan pupuk organik. Penggunaan pupuk kimia justru semakin masif karena untuk memaksa tanaman tetap subur.
Keresahannya memuncak saat isu keterlambatan distribusi pupuk subsidi mulai terdengar. Ia tahu, jika pupuk subsidi tak datang tepat waktu, banyak petani akan kesulitan. Membeli pupuk kimia nonsubsidi jelas bukan solusi, biayanya tinggi, dan hasil tak selalu sepadan.
Dari situ, Maman bersama sejumlah petani mulai berpikir keras: bagaimana menyuburkan tanah tanpa bergantung pada pupuk kimia? Jawabannya tak datang seketika. Hari demi hari, Maman dihantui kecemasan soal masa depan pertanian Babadan yang kian rapuh.
Hingga pada awal tahun 2021, titik terang itu muncul. Maman dan kelompok taninya bertemu dengan Pupuk Kaltim yang sedang menggulirkan program Agrosolution.
Program ini bukan sekadar bagi-bagi bantuan, melainkan pendekatan pertanian terpadu, mulai dari pemupukan berimbang, penggunaan pupuk nonsubsidi, hingga pendampingan petani secara intensif.
Maman menyampaikan semua kegelisahan dan harapan petani Babadan. Responsnya melegakan. Pupuk Kaltim bersedia terlibat melalui program PKT Bisa.
Namun Maman tak ingin solusi untuk Dusun Babadan instan. Ia tak butuh sekadar bantuan alat atau pupuk, melainkan pendampingan jangka panjang agar petani benar-benar mandiri. Permintaannya pun dikabulkan.
Petani Babadan mulai dilatih membuat pupuk kompos dari kotoran ternak. Meski serba manual dan tanpa mesin, Maman memimpin langsung proses produksi pupuk-pupuk kompos dan kotoran ternak itu setiap malam. Hasilnya mulai terlihat: dalam empat bulan, tanah yang rusak mulai pulih.
Tak berhenti sampai di situ, Maman juga terus belajar lewat program TJSL Pupuk Kaltim. Ia menggagas terbentuknya Kelompok Tani Babadan Makmur—wadah aktivitas warga dari pertanian, peternakan, perikanan, pembuatan kompos, hingga UMKM lokal.
Ia juga mengajak petani lain bergabung demi meningkatkan produksi pupuk organik agar harganya lebih terjangkau bagi seluruh warga. Perubahan pun nyata: penggunaan pupuk kimia turun hingga 50%, dan hasil panen melonjak dari 6 kuintal–7 kuintal menjadi hampir 1 ton per petak. Pendapatan petani pun naik dari biasanya mereka hanya mendapatkan Rp 3,9 juta menjadi Rp 6,5 juta.
Sebagai ketua kelompok, Maman sadar tantangan yang dihadapi belum selesai. Di musim hujan, pengeringan gabah jadi kendala. Ia kini tengah merancang oven pengering berbahan bakar biogas dari limbah kandang komunal sebagai solusi pengeringan cepat dengan energi biogas.
Masalah lain soal pengairan: sumur melimpah, tapi listrik masih terbatas. Petani harus bergiliran menyalakan pompa, yang kerap menyebabkan keterlambatan penyiraman.
Meski begitu, Maman tak menyerah. Ia terus menanamkan prinsip bahwa membangun desa bukan soal menunggu bantuan. Menurutnya, bantuan hanya alat. Yang terpenting adalah kemauan untuk berubah dari dalam diri masyarakat itu sendiri. “Warga desa bukan penonton dalam pembangunan, mereka aktor utama. Tanpa semangat juang, semua bantuan hanya akan jadi angin lalu,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News