KONTAN.CO.ID - Tak hanya pemandangan rumah pompa air dan tiang-tiang jaringan kabel listrik yang masuk pematang sawah, di beberapa titik terdapat bangunan rumah burung hantu atau rubuha.
Ya, rubuha ini dibangun oleh petani sebagai upaya penanggulangan hama tikus secara alami. Adanya serangan tikus skala besar yang menyebabkan gagal panen di beberapa kecamatan di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, setidaknya dapat dikendalikan dengan didirikannya rubuha.
Selama ini dalam pengendalian hama tikus dalam jangka pendek antaralain dengan cara gropyokan. Sedangkan pengendalian jangka panjang salah satunya dengan antaralain pembuatan rubuha. Nah, rubuha ini menjadi tempat singgah burung hantu jenis Tyto alba yang memiliki kemampuan berburu sangat tinggi dengan memangsa tikus hingga 6-8 ekor per hari.
Artinya, metode ini menjadi pengendalian yang utama dalam menurunkan angka gagal panen yang diakibatkan oleh serangan tikus. Sebagai predator yang efektif karena kemampuannya dalam menyergap di kegelapan malam. Indera yang dimiliki mampu mendeteksi keberadaan tikus sampai jarak 500 meter sedangkan radius terbang per malam berkisar 5-10 km.
Salah seorang yang berandil besar dalam menambah populasi Tyto alba adalah Yasin, pengasuh dan pengembang burung hantu, anggota Kelompok Tani Ngelencong, Kecamatan Geneng, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. "Burung hantu ini potensial dimanfaatkan sebagai predator alami tikus. Burung hantu atau Tyto alba selalu berburu tikus melebihi kebutuhan yang dimakannya," ujarnya.
Menurut Yasin, rubuha merupakan salah satu penerapan inovasi pertanian yang ramah lingkungan. Sebab, rubuha tidak menimbulkan kerusakan, tapi sangat efektif untuk mengendalikan tikus. Rubuha telah banyak didirikan secara swadaya oleh kelompok tani di beberapa desa di wilayah Kecamatan Geneng khususnya juga di daerah endemik terhadap serangan hama tikus. Burung hantu aktif mencari makan atau mangsa dimulai menjelang fajar, sedang pada siang hari tidur
Awal Yasin berhubungan dengan burung hantu tidak di sengaja. Itu bermula dari beberapa tahun yang lalu kedatangan burung hantu yang bersarang di atap rumah di lantai dua, yang memang dimanfaatkan untuk budidaya sriti dan burung walet. "Ada suara berisik di atap lantai dua, saya cek ternyata ada beberapa anak burung hantu yang menetas," paparnya.
Pria pensiunan guru ini bercerita, saat ditemukan, tidak ada indukan dari anakan burung hantu tersebut. Seiring berjalannya waktu, Yasin terus mempelajari karakter burung hantu. "Tyto alba ini tidak punya sarang. Bertelur pada pohon besar atau gedung-gedung tinggi yang sepi," jelas Yasin.
Induk betina burung hantu bertelur tidak setiap hari, tapi dalam satu periode bertelur berjumlah 6-12 butir. Sehingga, telur menetas tidak secara bersamaan. Selanjutnya, telur dierami dengan waktu pengeraman selama 21-28 hari. Menurut Yasin, persentase penetasan terlur burung hantu 80%. "Anakan burung hantu akan memisahkan diri dari induknya setelah berumur 4-6 bulan. Jadi, kalau dikembangkan dengan baik, produktif untuk menambah populasi burung hantu yang berkurang," sebutnya.
Dari pengamatan, indukan burung hantu ini selalu mengirimkan tangkapan tikus untuk anaknya. Yasin menambahkan, dari beberapa telur burung hantu yang menetas, beberapa ekor telah dilepas ke beberapa lokasi sawah yang terbilang masif serangan tikus. Hingga saat ini sudah puluhan burung hasil penangkaran ke lokasi pertanian.
Yasin berharap, pemanfaatkan burung hantu untuk pengendalian tikus ini bisa diikuiti oleh petani lainnya. Sehingga, populasi burung hantu terus bertambah. Namun demikian, memang tidak mudah untuk mengembangkan burung hantu. Pasalnya, butuh kesabaran dan ketelatenan. Di samping itu, perlu pemahaman terkait sifat dan karekateristik burung hantu.
Selain itu, menambah jumlah rubuha juga berperan penting dalam pengembangan ekosistem burung hantu. "Harapan kami bisa dirintis tempat karantina khusus pengembangan dan pembelajaran mengenai burung hantu. Rencana ini sudah ada respons dari dinas, mudah mudahan bisa terealisasi," harap Yasin.
Bupati Ngawi Ony Anwar Harsono berkomitmen membantu petani dalam pengendalian hama tikus. Sesuai kesepakatan, anggaran pembuatan rubuhan diambilkan dari dana desa. Minimal satu rubaha untuk cakupan seluas lima hektare lahan tanam. Sehingga, jika luas lahan tanam pertanian di desa seluas 400 hektare, maka minimal harus ada 80 rubuha. "Sejumlah wilayah yang tinggi kasus hama tikus maka prioritas untuk pembuatan rubuha, diantaranya Kecamatan Kasreman, Padas dan Karangjat," sebutnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Terkait
Jelajah Ekonomi Pangan