Melongok Rencana Pertamina Geothermal dalam Pengembangan Pembangkit Listrik EBT

Jelajah Ekonomi Infrastruktur Berkelanjutan - Kontan
Ilustrasi. Sejumlah perusahaan gencar mengeksplorasi potensi sumber energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia. Salah satunya PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO). Kamis, 01 Agustus 2024 | 16:26 WIB

Reporter: Pulina Nityakanti

Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah perusahaan gencar mengeksplorasi potensi sumber energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia. Salah satunya PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO).

Eksplorasi dan penggunaan EBT telah mengalami perkembangan yang pesat selama beberapa tahun terakhir. Salah satunya juga didukung oleh kebijakan pemerintah untuk mendorong peningkatan kontribusi EBT pada bauran energi nasional. Pemerintah sendiri berkomitmen mengejar target net zero emission (NZE) pada tahun 2060.

PGEO meyakini geotermal, dengan sumber daya 24 gigawatt (GW), memiliki potensi besar di Indonesia untuk dikembangkan. Apalagi, karakteristik energi dari geotermal mampu berperan sebagai baseload (pemikul beban dasar) kelistrikan.

“PGE berkomitmen untuk memajukan geotermal sebagai tulang punggung transisi energi sebagai bagian dari dukungan kepada upaya pemerintah mencapai target NZE pada 2060,” ujar Manager Corporate Communication & Stakeholder Management, Muhammad Taufik, kepada Kontan.

Di seluruh dunia, pengembangan EBT memang masih bergantung pada kebijakan pemerintah dalam mengurangi porsi energi fosil. Dengan upaya peningkatan porsi EBT dalam bauran energi nasional, investasi di sektor ini menjadi semakin menarik bagi investor dalam jangka panjang.

Baca Juga: Menilik 8 Bulan PLTS Terapung Cirata Beroperasi di Tengah Upaya Transisi Energi Hijau

Hal itu tercermin setidaknya dalam dua dokumen yang juga membahas peran penting pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), bisnis inti dari PGEO.

Pertama, Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2019-2038. Dalam dokumen ini, Kementerian ESDM memberi target porsi energi EBT dalam bauran energi nasional sebesar 23% pada 2025 dan 31% pada 2050.

RUKN juga menegaskan pentingnya pengembangan panas bumi untuk mendukung kebutuhan listrik di Jawa-Bali dan Sumatra, serta menjadi pembangkit listrik prioritas untuk dikembangkan di Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, Lombok, dan Flores.

Kedua, Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. Dalam dokumen ini, PT PLN (Persero) memberi panduan rencana pengembangan pembangkit EBT yang mencakup penambahan kapasitas PLTP sebesar 3.355 MW dari 2021 sampai 2030.

Meski begitu, pengembangan pembangkit listrik EBT tetap memiliki tantangan. Misalnya, diperlukan pengembangan produk sampingan sebagai sumber pendapatan lain dari PLTP.

“Belum maksimalnya kemampuan industri dalam negeri dalam menyediakan teknologi dan peralatan untuk industri geotermal juga menjadi tantangan pengembangan pembangkit EBT,” kata Taufik.

Perkembangan geotermal juga banyak dipengaruhi arah kebijakan pemerintah, terutama terkait dengan transisi energi. Perubahan regulasi dan kebijakan EBT akan memberikan dampak terhadap PGE, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Oleh karena itu, PGEO pun berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk menciptakan teknologi baru dan membangun portofolio bisnis yang bisa menangkap captive market dari proyek PGE.

Sudah ada enam langkah PGEO dalam hal ini. Pertama, pengembangan teknologi binary plant untuk proyek cogeneration. Kedua, JSA dengan PT Elnusa Tbk, PT PGAS Solution, dan PT Pertamina Maintenance and Construction untuk studi produksi lokal heat exchanger dan cooling tower.

Ketiga, pembangunan PGE LABS, yaitu laboratorium geotermal untuk eksplorasi dan produksi. Keempat, pengembangan teknologi two phase flow-meter untuk mengukur fluida geotermal secara real-time.

Kelima, diversifikasi pendapatan melalui pengembangan hidrogen hijau dan amonia. Terakhir, penyediaan listrik hijau untuk operasi pusat data.

“PGE mendukung upaya-upaya termasuk kebijakan yang semakin memberikan peran lebih besar pada EBT. Kami pun berharap dapat terus bersinergi dengan semua pihak untuk pengembangan panas bumi, termasuk pemerintah, badan usaha, dan juga PLN,” tuturnya.

Terkait potensi bisnis, keuntungan finansial dari EBT tak bisa dibandingkan dengan bisnis energi fosil. Salah satu faktor utama penentu keekonomian adalah biaya pengembangan awal EBT yang masih lebih tinggi dibandingkan energi fosil.

Meski demikian, EBT dalam jangka panjang akan memiliki keunggulan dari segi harga. Ini mengingat pasokan energinya yang berkelanjutan, tidak seperti energi fosil yang akan habis.

Namun, komitmen pemerintah terkait target NZE pada 2060 dan target bauran energi nasional tetap akan membuat potensi bisnis EBT, terutama geotermal, dalam jangka panjang masih menarik. Apalagi, pemerintah menargetkan penutupan sejumlah PLTU batu bara di Jawa dan nanti penggantinya adalah pembangkit berbasis EBT.

“Geotermal yang memiliki karakteristik sebagai baseload (pemikul beban dasar) kelistrikan dan sumber dayanya sangat besar, terutama di Jawa dan Sumatra, tentu memiliki potensi paling besar sebagai pengganti PLTU batubara,” ujar Taufik.

Baca Juga: Ini Penyebab Target Realisasi Investasi Energi Terbarukan di 2024 Sulit Tercapai

Untuk melakukan pengembangan proyek dan bisnis, PGEO telah melaksanakan initial public offering (IPO) dan menerbitkan obligasi hijau untuk memperkuat posisi finansial.  Dengan kekuatan kapital yang ada, PGE sampai saat ini mampu membiayai pengembangan bisnis dan ekspansi organik.

“Ini pun menumbuhkan kepercayaan dari sejumlah lembaga keuangan untuk menyediakan fasilitas pembiayaan yang bisa kami akses,” ungkapnya.

Saat ini, PGEO memiliki sejumlah proyek yang tengah dilakukan dan akan dilakukan dalam pengembangan pembangkit EBT. Pertama, pengembangan teknologi pada existing PLTP dan pengembangan PLTP baru (konvensional) untuk mencapai target pembangkitan 1 GW.

Kedua, PGE mengelola 15 Wilayah Kerja Panas Bumi dengan kapasitas terpasang sebesar 1.877,5 MW. Ini terbagi 672,5 MW yang dioperasikan dan dikelola langsung oleh PGE dan 1.205 MW dikelola dengan skema Kontrak Operasi Bersama.

Ketiga, PGE akan menambah kapasitas untuk mencapai kapasitas terpasang 1 GW melalui pengembangan proyek, proyek co-generation, ekstensi dan pengembangan green field, dan proyek inorganik.

Keempat, PGE ingin menciptakan nilai dengan memaksimalkan pengelolaan end-to-end potensi panas bumi beserta produk turunannya serta berpartisipasi dalam agenda dekarbonisasi.

“Kapasitas terpasang panas bumi di wilayah kerja PGE saat ini  berkontribusi sebesar 80% dari total kapasitas terpasang panas bumi di Indonesia, dengan potensi pengurangan emisi karbondioksida sebesar sekitar 9,7 juta ton karbondioksida per tahun,” imbuh Taufik.

Tag

Berita Terkait

Jelajah Ekonomi Infrastruktur Berkelanjutan
Didukung oleh:
Barito Renewble
Pertamina
PLN
KB Bank
Mayapada
BNI
Rukun Raharja
Kementerian PUPR
Bank Syariah Indonesia
Bank BRI
Bank Mandiri
J Trust Bank
Official Airlines:
Barito Renewble