Seribu Satu Cara Petani Giling Padi di Kalidoni Sumatera Selatan Menyambung Hidup

Seribu Satu Cara Petani Giling Padi di Kalidoni Sumatera Selatan Menyambung Hidup
Ilustrasi. Pekerja menuangkan gabah ke mesin penggilingan padi di Desa kedungweru Kab. Kebumen Jawa Tangah, Senin (6/9). Hingga Triwulan II 2021, BRI telah menyalurkan kredit di sektor pertanian sebesar Rp 117,54 triliun. Jumlah tersebut tumbuh 12,8 persen secara year in year. Angka penyaluran kredit BRI ini mengambil market share sebesar 28,03 persen dari penyaluran kredit bank secara nasional untuk sektor pertanian./pho KONTAN/Carolus Agus Waluyo/06/09/2021. Kamis, 26 Juni 2025 | 18:01 WIB

Reporter: Muhammad Julian

Editor: Yuwono triatmojo

KONTAN.CO.ID - PALEMBANG. Pintu ruangan giling padi itu tertutup rapat pada Senin petang (16/6). Di dalamnya, teronggok mesin penggiling padi berkapasitas produksi 700 kilogram (kg) beras per jam, yang sudah mulai agak berdebu.

Sang empunya, Malik (65 tahun), lebih memilih nongkrong di depan warung kelontong miliknya sambil menunggu pembeli. Sudah hampir 9 bulan mesin penggilingan padi milik Pak Malik menganggur tidak dipergunakan. “(Pasokan gabah untuk digiling) Sedang kosong, bulan 8 (Agustus), bulan 9 (September) baru ada lagi,” ujar Malik saat ditemui KONTAN (16/6).

Ya, di area persawahan di Desa Lais, Kecamatan Kalidoni-Palembang tempat Malik bermukim, musim panen padi hanya berlangsung 1 kali dalam setahun. Biasanya di sekitaran bulan Agustus-September. Selebihnya pasokan gabah untuk digiling nyaris nol.

Maklumlah, persawahan tempat Malik bermukim merupakan sawah pasang-surut. Walhasil, lahan persawahan di sana tidak bisa digunakan saat debit air dari sungai berlebih.

Itulah sebabnya, pria yang telah malang-melintang menekuni bisnis giling padi sejak tahun 2005 itu lebih memilih mengandalkan bisnis kelontong sebagai sandaran hidup sembari menanti masa panen berikutnya.

“Ini kan Sungai Musi di belakang, tidak jauh dari sini,” tutur Malik. Persoalan semacam ini tidak dipikul Malik seorang. Nasib petani di desa tetangga juga sama belaka.

Parno (71), Ketua Kelompok Tani yang menaungi 23 anggota petani di Desa Sei Selincah (masih 1 kecamatan dengan Pak Malik), juga membeberkan cerita serupa: sawah petani di desa dihajar debit air pasang surut yang tidak bisa diprediksi, panen hanya setahun sekali, lalu petani mencari sumber pemasukan tambahan untuk bertahan hidup.

Sumber pemasukan yang diandalkan beragam, mulai dari mencuil rezeki dari profesi kuli bangunan, hingga berwirausaha di bidang usaha lain. Padahal, total luasan lahan sawah kelolaan ke-23 anggota tidak bisa dianggap sedikit. Masing-masing anggota juga biasanya memiliki atau setidaknya menyewa mesin penggilingan padi.

“Dari total 23 anggota, (total luas lahan sawah) sekitar 30-an hektare (ha). Semuanya ada profesi sambilan lain, karena kalau sudah panen kan enggak kerja,” tutur Parno kepada KONTAN (19/6).

Parno sendiri, yang telah makan asam garam dari berbisnis penggilingan beras sejak tahun 1981, punya usaha sampingan jasa sewa rumah toko (ruko). Total ada 5 ruko yang ia sewakan di beberapa tahun terakhir.

Maklumlah, perkara panen padi yang terbatas baru 1 dari sejumlah persoalan. Belakangan, lanskap rantai pasok beras berubah, setidaknya di tempat Parno dan kawan-kawannya menjalin usaha.

Parno bertutur, warung-warung tradisional kini lebih suka menampung beras kemasan hasil pabrikan besar. Sementara itu, opsi untuk menjual beras ke korporat besar yang bercokol di Sumatra Selatan juga tidak selalu menguntungkan.

Kadangkala beras produksi petani dibanderol di bawah harga pasar. Tahun lalu misalnya, Parno mengenang ada kalanya beras petani dihargai Rp 7.000 per kg oleh pabrikan besar, sementara harga di pasaran bisa berkisar Rp 9.000 per kg- Rp 13.000 per kg.

Gara-gara persoalan ini pula, petani kadang lebih suka menjual hasil bumi dalam bentuk padi/gabah alih-alih beras. Sementara itu, opsi menjual ke Badan Urusan Logistik (Bulog) juga masih kurang populer di kalangan Parno dan anggotanya.

“Kami belum pernah masuk ke Bulog, Bulog juga belum pernah berhubungan dengan kami di sini,” tutur Parno.

Sederet persoalan-persoalan ini berdampak pada regenerasi. Parno bilang, generasi-generasi muda di wilayahnya lebih suka mencari sumber pemasukan lain ketimbang bertani dan menggiling padi.

Kepala Dinas Pertanian TPH Provinsi Sumatra Selatan, Bambang Pramono, memastikan bahwa pemerintah bakal terus berupaya memajukan pertanian di Sumatra Selatan. Beberapa upaya yang digenjot di antaranya seperti mengerahkan Petugas Pendamping Peningkatan Ekonomi Petani (PPEP) untuk mendukung kegiatan petani, memfasilitasi bantuan permodalan alat, dan lain-lain.

Selain itu, pemerintah, kata Bambang, juga menjamin bahwa semua gabah petani bakal dibeli oleh pemerintah. “Bisa lewat Bulog. Harga dijamin pemerintah, paling rendah Rp 6.500 per kg” tutur Bambang saat ditemui KONTAN di Kantor Gubernur Sumatra Selatan (19/6).

Meski ada persoalan di sebagian wilayah, Sumatra Selatan merupakan salah satu lumbung padi terbesar di Indonesia. Produksi padinya mencapai 2.909.411,67 ton di tahun 2024 menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). Capaian tersebut menempatkan Provinsi Sumatra Selatan sebagai provinsi penghasil padi terbesar ke-5 di tahun 2024 setelah Jawa Timur (9.270.435,29 ton), Jawa Tengah (8.891.297,05 ton), Jawa Barat (8.626.879,91 ton), dan Sulawesi Selatan (4.818.429,39 ton).

Maklumlah, Sumatra Selatan menjadi salah satu provinsi dengan produktivitas di atas rata-rata di Indonesia. Di tahun 2024, tingkat produktivitas padi di Sumatra Selatan mencapai 55,83 kuintal per ha, di atas rata-rata nasional yang sebesar 52,90 kuintal per ha.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

Jelajah Ekonomi Pangan
Didukung oleh:
Barito Pacifik
Bank BRI
PLN
Bank Mandiri
Bank Mayapada
TOPI KOKI
GWM