KONTAN.CO.ID - Meski peran petani begitu vital, petani masih menghadapi berbagai tantangan yang menghambat produktivitas dan kesejahteraan. Perubahan iklim adalah salah satu ancaman terbesar, menyebabkan musim tanam yang tidak menentu hingga risiko gagal panen.
Fluktuasi harga pangan juga menjadi masalah yang sering dialami petani. Ketika harga hasil panen anjlok, sementara biaya pupuk dan benih terus naik, petani kerap mengalami kerugian bahkan tak sedikit terjerat utang tengkulak demi menyambung hidup.
Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2021) menyebutkan, 72,19% petani di Indonesia merupakan petani skala kecil dengan rata-rata pendapatan bersih sebesar Rp5,23 juta dalam setahun. Terhitung pendapatan petani Rp 435.833 per bulannya dan rata-rata per harinya adalah sebesar Rp14.527. Angka tersebut jauh berada di bawah garis besar kemiskinan, yakni pendapatan Rp535.547 per bulan atau sekitar Rp 17.851 per hari.
Sementara rata-rata pendapatan bersih dari petani skala besar adalah Rp 22,98 juta dalam setahun, Rp 1.909.000 per bulan, atau sekitar Rp 63.000 per harinya.
Belum lagi persoalan urbanisasi yang pesat menyebabkan pengurangan lahan pertanian. Banyak petani yang kehilangan lahan mereka karena alih fungsi menjadi kawasan industri atau pemukiman. Dari sisi sumberdaya manusia, jumlah petani produktif juga terus berkurang. Selain lahan pertanian semakin menyempit akibat alih fungsi, serta keterbatasan akses terhadap teknologi modern membuat banyak petani masih bergantung pada metode tradisional yang kurang efisien.
Meski tantangan yang dihadapi semakin pelik, dua daerah yang menjadi sentra produksi beras nasional, yakni Kabupaten Ngawi dan Kabupaten Ponorongo, mampu mempertahankan predikat sebagai lumbung padi nasional berkat kebijakan-kebijakan dan terobosan pengembangan secara intensif dan implementasi teknologi pertanian.
Bupati Kabupaten Ngawi Ony Anwar Harsono memaparkan salah satu program unggulan untuk mempertahankan Ngawi sebagai lumbung pangan nasional adalah memperkuat pendekatan Pertanian Ramah Lingkungan Berkelanjutan (PRLB). “Konsep ini dirancang dan dijalankan untuk memperkuat posisi Ngawi sebagai lumbung padi nasional sekaligus meningkatkan pendapatan petani,” katanya kepada Tim Jelajah Ekonomi Pangan KONTAN usai Dialog Petani Milenial di Ngawi pada 20 Mei 2025.
Ony menjelaskan, pada intinya PRLB adalah penguatan sistem irigasi, baik infrastruktur maupun kapasitas SDM pengelolanya, serta penerapan praktik agrikultur inovatif dengan menggunakan pola pertanian organik. Program ini menggabungkan penggunaan pupuk kimia dan organik, yang mana pupuk organik dibuat langsung oleh para petani dengan pendanaan sebesar 20% dari Dana Desa (DD).
Lahan PRLB mencapai 718 hektare pada tahun 2022, naik menjadi 1.780 hektare di 2023, lalu meningkat drastis menjadi 8.900 hektare bahkan hingga 18.381 hektare di tahun 2024. Di tahun 2025 ini, Pemkab Ngawi menargetkan luasan mencapai 25.000 hektar. Per Mei 2025, sudah sekitar 20.000 hektare atau 40% dari total lahan padi di Ngawi yang telah beralih ke sistem PRLB.
Sebagai tindak lanjut, Pemkab Ngawi terus memperbaiki jaringan saluran irigasi, menggelar pelatihan teknis intensif bagi petugas lapangan, dan berkolaborasi dengan lembaga riset pertanian. “Harapannya, produktivitas padi menanjak tajam dan manfaat ekonomi langsung dirasakan di tingkat desa,” katanya.
Ony juga terus mendorong tumbuhnya para petani milenial sebagai upaya regenerasi. “Petani milenial adalah ujung tombak masa depan pangan kita. Dengan ide-ide segar dan penguasaan teknologi, saya yakin pertanian Ngawi akan semakin maju dan berdaya saing,” jelas dia. Makanya, Pemkan Ngawi terus mendorong kolaborasi dengan petani milenial. Harapannya, sinergi ini akan menjadi pendorong utama bagi transformasi pertanian di Kabupaten Ngawi, menjadikannya sektor yang lebih modern, berkelanjutan, dan menarik bagi generasi muda.
Untuk meningkatkan keilmuan terkait pertanian, perlu diaktifkan kembali Agro Tekno Park sebagai pusat penelitian pertanian yang didalamnya terdapat petani milenial. Agro Tekno Park juga diharapkan menjadi etalase pertanian yang mempromosikan pertanian modern dan berbasis teknologi. “Dengan mengaktifkan kembali Agro Tekno Park, kita dapat meningkatkan keilmuan dan teknologi pertanian, serta mengenalkan pertanian sebagai profesi yang menjanjikan bagi generasi muda,” tandas Bupati Ngawi.
Terkait program PRLB, Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Ngawi, Supardi bilang, selain bertujuan menghasilkan beras yang lebih sehat dan aman dikonsumsi, langkah ini juga mendorong terbentuknya ekosistem pertanian berkelanjutan.
Supardi menyebutkan bahwa sebagian petani bahkan sudah berhasil memproduksi beras organik, meskipun belum tersertifikasi karena biaya administrasi yang cukup tinggi. DKPP Ngawi juga memberikan berbagai bentuk dukungan kepada kelompok tani, seperti bantuan alat produksi pupuk organik berupa drum, aerator, dan kebutuhan lainnya.
Harapannya, ke depan setiap desa bisa memiliki lumbung mall, tempat kelompok tani bisa membuat pupuk organik sendiri dan menjualnya kepada petani lain secara mandiri. “Kalau setiap desa memiliki fasilitas sendiri untuk memproduksi pupuk organik, petani bisa lebih mandiri. Bukan hanya dalam hal produksi, tetapi juga dari sisi ekonomi. Kita ingin petani Ngawi kuat dari sawah hingga pasar
Supardi lebih lanjut membuka kunci keberhasilan Ngawi menjadi lumbung pangan nasional. Salah satunnya terletak pada system pengairan atau irigasi. Memang, tanaman padi sangat membutuhkan kecukupan air sehingga hasil panen baik. “Di Ngawi, petani bisa tanam padi tiga kali dalam setahun, sehingga produktivitasnya tinggi,” ungkapnya.
Dalam hal ini, Supardi menekanakan jika infrastruktur irigasi sangat berperan penting dan menentukan keberhasilan panen. Untuk pengairan ini ada dua sumber, pertama airnya dari danau atau kali yang dialirkan melalui saluran irigasi. Kedua, sumber air dari sumur submersible. Selama musim hujan, pengairan dominan dari irigasi. Tapi Ketika musim kemarau saluran irigasi ini kering dan digantikan dengan sumur pompa submersible. “Jadi, meski musim kemarau, petani tetap bisa tanam padi. Total ada sekitar 22.000 sumur submersible tertanam di berkat program elektrifikasi sawah bekerja sama dengan PLN,” sebutnya.
Memang, pemandangan tiang dan jaringan listrik PLN dan rumah pompa menjadi tampak nyata di persawaan yang hampir tersebar di wilayah Ngawi. Pemandangan serupa juga dijumpai di aera persawahan Kabupaten Ponorogo, yang juga menjadi daerah lumbung padi. Tri Budi Widodo, Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura, Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan, dan Perikanan Kabupaten Ponorogo menuturkan, sistem irigasi memang sangat vital dalam tanaman padi karena membutuhkan pasokan air yang cukup.
"Dari sisi pengairan ini diutamakan adalah irigasi air tanah dalam atau yang dikenal di daerah Ponorogo itu sumur irigasi air tanah dalam (IATD)," katanya. Pada tahun 2024, Ponorongo mengalokasikan anggaran untuk membangun 250 IATD. Adapun satu unit sumur IATD dengan kedalaman rata-rata 80 meter mampu mengairi sekitar 10 hektare hingga 20 hektare lahan pertanian. Adapun total jumlah sumur pompa sibel yang terebra di persawaan Ponorogo sebanyak 20.000-an unit, yang mana sebagian besar dibangun swadaya masyarakat.
Di samping dukungan pengairan lewat IATD yang beroperasi di saat musim kemarau, petani di Ponorogo mendapat pasokan air irigasi dari Telaga Ngebel, Waduk Bendok, Dam Cungkur dan lain-lain. “Sehingga, alhamdulillah dengan program yang ada, sinergisitas antara program-program yang ada di daerah, kemudian juga kegiatan-kegiatan di pusat yang mendukung dengan irigasi ini juga luar biasa berpengaruh pada produksi panen,” ungkap Budi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Terkait
Jelajah Ekonomi Pangan