KONTAN.CO.ID - LABUAN BAJO. Desa ini terdiri dari tiga kampung dengan toleransi tinggi. Meski memiliki perbedaan dalam keyakinan yang dianut, tapi warga ketiga kampung tersebut hidup berdampingan. Namun, sangat disayangkan akses menuju desa itu sangat sulit.
Bahkan, masing-masing warga tiap kampung itu juga masih kesulitan dalam hal akses jalan, air bersih, serta listrik. Itulah segelintir kekhawatiran yang diutarakan warga Desa Warloka, di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.
Desa Warloka terdiri dari Kampung Warloka, Kampung Kenari, dan Kampung Cumbi. Salah satu warga bernama Mudin Ahmad menceritakan bahwa ketiga kampung hidup berdampingan meski memiliki perbedaan keyakinan.
Kampung Warloka dan Kenari memiliki penduduk berkeyakinan 100% Islam, sedangkan Kampung Cumbi ditempati penduduk berkeyakinan Katolik.
Tiap kampung juga memiliki kelebihan yang berbeda. Di Kampung Warloka mata pencaharian utamanya adalah nelayan. Ada juga Pasar Warloka yang menjadi tempat andalan untuk ketiga penduduk kampung berjualan.
Baca Juga: Bisnis hotel diyakini masih bisa bertumbuh di tahun ini
Sementara, Kampung Kenari dan Kampung Cumbi berlokasi di dataran yang lebih tinggi sehingga mata pencaharian penduduk kedua kampung umumnya berkebun. Nantinya, hasil kebun tersebut akan dijual di Pasar Warloka dengan sistem barter.
Hanya saja, Mudin menyatakan desanya masih sulit memiliki ketersediaan air bersih dan listrik, terutama di Kampung Warloka. Di sana, air sumur juga berasa asin karena bercampur dengan air laut, sedangkan jarak mata air berada puluhan kilometer.
"Infrastruktur ke sini juga masih jelek. Akses jalan dari Kampung Kenari atau Cumbi ke Kampung Warloka bahkan tidak ada penerangan dan jalannya masih tidak rata," ujar Mudin kepada Tim Jelajah Ekonomi Pariwisata KONTAN.
Mudin menambahkan biasanya warga mengambil air bersih dari Kampung Kenari. Sebab, di sana ada kali besar yang airnya cukup bersih. Namun, perjalanan menuju Kampung Kenari ke Kampung Warloka biasanya memakan waktu 1,5 hingga 2 jam dengan berjalan kaki.
Warga Desa Warloka lain yaitu Ibrahim juga menyatakan satu-satunya dermaga yang ada sudah rusak sejak tiga tahun terakhir. Dermaga kayu tersebut sudah ada dari tahun 2009, usianya sudah 10 tahun.
Baca Juga: Menuju destinasi kelas dunia, Labuan Bajo terapkan konsep wisata berbasis masyarakat
Ibrahim menambahkan perihal dermaga itu, sebetulnya sudah dibahas di musyawarah desa (musdes) bersama kepala dusun setempat, tetapi sampai sekarang belum ada respon untuk diperbaiki.
Padahal, dermaga itu juga digunakan untuk angkutan kapal dari Labuan Bajo. Estimasi waktu dari Labuan Bajo ke Warloka melalui jalur laut diperkirakan memakan waktu 1 sampai 1,5 jam. Sementara, melalui jalur darat menghabiskan waktu 3 jam dan bisa lebih.
Aparat Desa Warloka Sahama menyatakan desa itu sebetulnya termasuk dalam 55 program desa wisata yang digagas oleh Dinas Budaya dan Pariwisata (Disbudpar) Manggarai Barat Labuan Bajo.
Sebelumnya, Kepala Disbudpar Agustinus Rinus juga telah mengonfirmasi bahwa Warloka menjadi salah satu desa wisata yang pengembangan pariwisatanya dibiayai Disbudpar. Hanya saja karena keterbatasan anggaran, perbaikan infrastruktur dan fasilitas desa tersebut masih secara bertahap.
Baca Juga: Tahun 2020, pariwisata Labuan Bajo akan terapkan digitalisasi
Sahama juga menambahkan tren wisatawan di Warloka masih minim. Meski wisatawan lokal yang berkunjung masih cukup sering, tetapi untuk wisatawan mancanegara hanya 2 hingga 3 orang yang datang tiap bulannya.
Sementara itu, berdasarkan data kecamatan, tercatat ada lebih dari 300 Kepala Keluarga (KK) di Desa Warloka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News