KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri tembakau di Indonesia merupakan sektor strategis yang memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023, sekitar 1,46 juta orang bekerja di sektor pengolahan tembakau, termasuk 342.417 tenaga kerja di industri mikro, 868.434 orang di industri kecil, serta 246.587 tenaga kerja di industri skala besar dan sedang.
Industri tembakau juga menyumbang lebih dari 10% terhadap penerimaan pajak negara. Tengok saja, pada 2023, penerimaan cukai rokok mencapai Rp 213,48 triliun, belum termasuk pajak daerah, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penghasilan (PPh). Angka ini menunjukkan pentingnya sektor ini sebagai salah satu pilar perekonomian.
Risiko Kesehatan
Namun, keberhasilan ekonomi ini diiringi dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat. Produk turunan tembakau, seperti rokok berkontribusi pada meningkatnya kasus penyakit akibat konsumsi tembakau, yang pada akhirnya membebani sistem kesehatan nasional.
Sektor Kesehatan menghadapi tantangan besar untuk menekan biaya kesehatan yang terus melonjak akibat dampak merokok, termasuk penyakit jantung, kanker paru-paru, dan gangguan pernapasan kronis.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada tahun 2023, jumlah perokok aktif di Indonesia terus bertambah. Tercatat sekitar 70 juta orang merupakan perokok aktif, dengan 7,4% di antaranya berasal dari kelompok usia 10-18 tahun.
Riset Center for Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI) menjelaskan konsumsi rokok memberi beban biaya kesehatan sebesar Rp 17,9-27,7 triliun selama setahun pada 2019 akibat penyakit yang timbul dan berasosiasi dengan rokok. Nilai Rp 17,9 hingga 27,7 triliun ini setara dengan 61,75% hingga 91,8% total defisit Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada 2019.
Menghadapi dilema ini, pemerintah dituntut untuk merancang kebijakan yang dapat mempertemukan berbagai kepentingan.
Baca Juga: Naik, Ini Harga Rokok Resmi 2025, Rokok SKT Naik Hingga 18%, Cek Rinciannya
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengungkapkan untuk menjaga keseimbangan antara keuntungan ekonomi dari industri tembakau dan dampak kesehatan jangka panjang, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis.
Pertama, mengintegrasikan kebijakan Kementerian Perindustrian, Kesehatan, dan Keuangan untuk menemukan titik temu yang menjaga keberlanjutan ekonomi industri tembakau sekaligus menekan dampak kesehatan.
Kedua, menyesuaikan tarif cukai berdasarkan tingkat bahaya produk tembakau, seperti cukai lebih tinggi untuk produk yang lebih berbahaya.
Selain itu, pemerintah dapat mengalokasikan sebagian besar Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) untuk sektor kesehatan, seperti pencegahan penyakit akibat rokok dan pengembangan sumber daya manusia.
Ketiga, pemerintah juga perlu memberikan pelatihan dan pendampingan kepada pekerja di sektor tembakau untuk beralih ke sektor lain serta mendorong petani tembakau untuk menanam komoditas alternatif yang lebih ramah lingkungan dan menguntungkan.
Keempat, melakukan kajian menyeluruh tentang dampak sosial, ekonomi dan kesehatan dari berbagai kebijakan terhadap industri tembakau serta mengevaluasi kebijakan secara rutin untuk memastikan efektivitas dan menyesuaikan langkah berdasarkan hasil.
"Keseimbangan ini memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan semua pemangku kepentingan untuk memastikan bahwa baik sisi ekonomi maupun kesehatan dapat dikelola secara berkelanjutan," ujar Josua kepada Kontan, Jumat (3/1).
Josua juga menyoroti kampanye anti-rokok dan regulasi ketat, seperti pembatasan iklan dan kemasan polos, dapat menurunkan permintaan rokok tradisional. Ini dapat berdampak pada pengurangan jumlah tenaga kerja di sektor ini.
Penurunan prevalensi merokok akibat kebijakan seperti cukai yang tinggi telah menurunkan produksi industri hasil tembakau sekitar 2-3% per tahun dalam lima tahun terakhir.
Lebih lanjut, regulasi yang ketat dapat mempercepat peralihan ke produk rokok ilegal, yang cenderung tidak mematuhi standar perburuhan, sehingga mengancam keberlanjutan pekerjaan di sektor formal.
Di sisi lain, industri rokok elektrik berkembang pesat dengan permintaan yang meningkat, terutama di kalangan remaja.
"Ini dapat menciptakan peluang baru untuk tenaga kerja di sektor ini, meskipun jumlahnya mungkin tidak sebesar di sektor tembakau tradisional," jelas Josua.
Pemerintah mengalokasikan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja dalam diversifikasi tanaman dan alih profesi. Hal ini bertujuan untuk mendukung pekerja di industri tembakau yang terdampak.
Kampanye anti-rokok dan perkembangan rokok elektrik berpotensi mengurangi tenaga kerja di sektor tembakau tradisional tetapi menciptakan peluang di sektor rokok elektrik.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengatakan untuk menjaga keseimbangan tersebut, pemerintah perlu mengambil pendekatan bertahap dan terencana.
Pertama, dapat dimulai dengan pengetatan regulasi terkait produksi dan penjualan produk tembakau, namun tetap memberi ruang bagi industri untuk beradaptasi.
Kedua, alokasi sebagian besar penerimaan cukai rokok untuk dana kesehatan dan program transformasi industri.
Ketiga, memberikan insentif bagi perusahaan rokok yang mulai mengembangkan produk alternatif yang lebih aman bagi kesehatan.
"Pendekatan ini dapat membantu menjembatani kepentingan Kemenperin dalam menjaga pertumbuhan industri sekaligus mengurangi beban sektor kesehatan secara bertahap," kata Yusuf kepada Kontan, Jumat (3/1).
Baca Juga: Tahun 2025, Harga Rokok & Vape Naik, Ini Rincian Resmi Dari Pemerintah
Terkait masifnya dampak kampanye anti rokok, diperlukan program pelatihan dan pengembangan keterampilan bagi para pekerja agar mereka siap menghadapi potensi perubahan industri, termasuk kemungkinan beralih ke sektor lain atau mengikuti transformasi industri ke produk alternatif.
Peluang transformasi industri rokok konvensional ke produk alternatif seperti rokok elektrik cukup terbuka, mengingat tren global yang mengarah pada produk tembakau yang lebih aman.
Namun, transformasi ini akan berdampak signifikan terhadap kebutuhan tenaga kerja karena produksi rokok elektrik lebih mengandalkan teknologi dan otomatisasi dibanding produksi rokok konvensional yang lebih labor-intensive.
"Dalam mengantisipasi hal ini, pemerintah dan pelaku industri perlu berkolaborasi dalam menyiapkan program reskilling dan upskilling bagi para pekerja, serta mengembangkan industri pendukung yang dapat menyerap tenaga kerja dari sektor tembakau konvensional," tutup Yusuf.
Transformasi industri ini juga harus mempertimbangkan aspek sosial ekonomi petani tembakau. Program diversifikasi tanaman dan pengembangan industri alternatif di daerah penghasil tembakau perlu dijalankan secara paralel untuk menciptakan sumber pendapatan baru bagi masyarakat yang selama ini bergantung pada industri tembakau.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News