KONTAN.CO.ID - REMBANG. Stigma yang menyatakan bahwa perempuan tak bisa menjadi petani itu salah kaprah. Kendati fisiknya tak sekuat pria, tapi banyak juga wanita yang sukses dari bertani. Dengan profesinya ini mereka bahkan menanggung beban ganda, yakni bekerja di lahan pertanian dan di rumah.
Begitulah beban yang mesti ditanggung petani wanita, seperti yang dilakoni Iris Gunartini , 39 tahun. Wanita asal Desa Sukorejo, Kecamatan Sumber, Rembang, Jawa Tengah ini memang lahir dan besar di tengah-tengah keluarga petani.
Demi membantu suami menafkahi keluarga, terik mahari pun sudah tak dihiraukannya. "Awalnya karena suami tidak mempunyai pekerjaan tetap. Kalau di sini musim kemarau, biasanya pada merantau," ungkap Iris saat ditemui KONTAN di kediamannya, Jumat (10/1).
Iris mulai menanam tembakau pada tahun 2017 setelah mendapat dorongan dari mertuanya. Kala itu mertuanya sudah lebih dulu berkecimpung di pertanian tembakau, tepatnya sejak tahun 2015.
Lantaran hasilnya lebih bagus dibandingkan menanam padi, Iris akhirnya mengikuti saran orangtua suaminya itu. Iris mulai menanam tembakau di lahan seluas setengah hektare (ha).
Mendengar sang isteri menanan tembakau, akhirnya sang suami memutuskan untuk tidak merantau dan lebih membantu isterinya di ladang. Sinergi antara suami dan isteri ini pun menjadi kunci sukses pada percobaan pertama ini.
"Untuk bertani tembakau itu tidak bisa dilakukan lakilaki saja, atau perempuan saja. Jadi, masing-masing mempunyai peran yang sangat penting, keduanya itu saling mendukung, saling melengkapi dan bersinergi," ungkap Iris.
Sejak awal bertani temnbakau, Iris dan suami memang telah melakukan pembagian kerja . Iris terlibat untuk seluruh pekerjaan lapangan, seperti menyebar benih, menyirami, memberi pupuk hingga pemberantasan hama. Semua ditekuninya secara telaten agar hasil panennya bagus.
"Meski saya itu petani perempuan, saya yang terjun langsung, ikut menanam tembakau, terus ngobati, ngocori (menyirami), terus memetik tembakau saat sudah tiba waktunya panen," ungkap dia.
Namun, diakuinya ada pekerjaan yang memang hanya bisa dilakukan pria karena banyak membutuhkan tenaga. Misalnya saat musim tanam tiba, penyiapan lahan sepenuhnya dihandel sang suami.
"Jadi, pakai dangir kultifator (mesin pengolah tanah), nah itu kan pekerjaan lakilaki. Tapi kalau pekerjaan lain yang bisa dilakukan perempuan, itu biasanya petani perempuan ikut semua," jelas dia.
Selain menguras tenaga dan biaya, menjadi petani juga berisiko gagal panen. Namun, risiko itu bisa diminimalisir setelah ia mengikuti program kemitraan dari salah satu perusahaan tembakau.
"Alhamdulillah, ikut program kemitraan itu memudahkan petani. Sebelum mulai tanam kami sudah dikumpulkan, diinformasikan dan sosialisasi terkait apa-apa yang dibutuhkan," ungkap dia.
Biasanya sosialisasi dilakukan oleh Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) yang berasal dari perusahaan mitra. Para petani dikumpulkan di Balai Desa untuk diberikan arahan lebih lanjut. Setelah hampir sembilan tahun bermitra, lahan pertanian tembakau milikinya terus berkembang.
Awalnya hanya setengah hektare, kini berkembang menjadi tiga hektare. Saat paling menggembirakan menjadi petani adalah saat panen. Dalam satu hektare Iris bisa mengantongi pendapatan kotor Rp 80 juta hingga Rp 90 juta.
"Kebetulan kalau saya itu habis setor pabrik, notanya itu saya kumpulkan, jadi setiap tahun saya kalkulasi, saya tulis pendapatan sama pengeluaran ," jelas dia. Yang jelas, dari bertani tembakau ia kini bisa mencukupi kebutuhan rumah tangganya, seperti menyekolahkan anak hingga membangun rumah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News