KONTAN.CO.ID - REMBANG. Berprofesi sebagai petani sudah menjadi pekerjan turun temurun bagi Parno, 56 tahun. Namun, peruntungannya di budidaya tembakau terhitung belum lama.
Mulai mengembangkan pertanian tembakau di tahun 2011, Parno bisa disebut sebagai pelopor petani tembakau di Desa Gunem, Rembang. Kiprahnya di pertanian tembakau berawal dari tawaran kemitraan yang datang dari sebuah perusahaan perdagangan tembakau.
Awalnya ia ragu menerima tawaran tersebut. Pasalnya, bukan saja minim pengalaman, saat itu belum ada satu pun warga desanya yang bertani tembakau. Saat itu ia bersama warga desa yang lain turun temurun menanam padi. Makanya, ia benar-benar awam tentang budidaya tembakau .
Namun, Parno tak langsung menolak mentah-mentah tawaran kemitraan dari perusahaan tembakau tersebut. Setelah melalui pertimbangan yang cukup matang dan diskusi bersama keluarganya, akhirnya ia pun menerima tawaran tersebut.
Sebuah keputusan yang berani mengingat belum ada satu pun waga desanya yang berani mengambil risiko menanam tembakau. Memperbaiki perekonomian keluarga menjadi motivasi utamanya menerima tawaran menjadi petani tembakau.
Maklumlah, selama puluhan tahun bertani padi, ia merasa kehidupan ekonomi keluarganya tak ada peningkatan. Padahal, sejak lama Parno bercita-cita bisa menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekkah.
"Setelah melalui pertimbangan akhirnya saya langsung menerima walaupun dari satu desa baru saya sendiri. Tapi, saya pikir 'lebih baik gagal karena mencoba, dari pada tidak sama sekali," kata Parno saat ditemui di kediamannya, Jumat (10/1).
Di masa-masa awal menanam tembakau, semua masih dilakukan serba manual, seperti cangkul, sabit dan lainnya. Untungnya, mertua Parno sempat mempunyai pengalaman menanam tembakau, meskipun hasilnya masih sangat sedikit dan berakhir di tengkulak.
"Jadi, saya juga banyak bertanya kepada mertua," cetusnya.
Di tahun pertama menjadi petani tembakau, Parno hanya menanam di lahan seluas 1/4 hektare (ha). Tak disangka, pada tahun pertama menjadi petani tembakau itu, Parno langsung menerima hasil yang signifi kan dari jerih payahnya bertani tembakau.
Mengantongi pendapatan yang cukup besar, Parno pun semakin semangat menanam tembakau. Sukses yang diraih Parno ini akhirnya turut menginspirasi warga desa lainnya untuk ikut menanam tembakau. "Tapi, saat itu belum begitu banyak warga yang ikut menanam tembakau," kenangnya.
Di tahun kedua menanam tembakau, Parno langsung melipatgandakan lahannya menjadi 1 ha. Bersamaan dengan itu ia pun mulai mendapatkan pendampingan teknis dari perusahaan yang menjadi mitranya tersebut..
Pendampingan yang diberikan meliputi pengetahuan seputar aspek budidaya, mulai dari musim tanam, perawatan, hingga penanganan pasca panen. Parno juga mulai dikenalkan dengan alat-alat pertanian yang lebih modern, seperti traktor kecil atau traktor mini yang berfungsi sebagai alat pengolah tanah.
"Kita juga dikenalkan dengan Alat Pelindung Diri (APD), tadinya saya kalau mau kasih pestisida itu langsung saja. Namun, setelah ada pendampingan, kita semua petani memang merasakan alat perlindung diri itu sangat perlu," jelasnya.
Dengan lahan yang lebih luas dan didukung peralatan yang lebih modern, hasil panen tembakau yang diperoleh Parno benar-benar maksimal. Bahkan, hasil yang diperoleh di tahun 2012 itu tak terlupakan bagi Parno hingga saat ini. Pasalnya, hasil yang diperoleh kala itu merupakan hasil terbesar yang pernah ia dapat dari bertani tembakau.
"Tahun 2012 itu saya tanam 1 hektar, dan memang itu musim yang terbagus dengan hasilnya yang memang luar biasa," ucapnya. Pundi-pundi rupiah yang diterimanya jauh lebih besar ketimbang dari hasil menanam padi. Setelah disisihkan buat kebutuhan sehari-hari dan modal tanam berikutnya,
Parno masih menggenggam sisa uang yang cukup besar di tangannya.. Nilainya tidak kurang dari Rp 60 juta. "Uang itu langsung daftarkan buat naik haji," ujar Parno.
Parno masih ingat betul biaya yang harus ia bayarkan untuk mendaftar haji saat itu, yaitu sebesar Rp 50 juta ditambah biaya administrasi senilai Rp 5 juta. Setelah melewai masa tunggu selama 12 tahun, Parno akhirnya resmi menginjakkan kaki ke tanah suci pada Juni tahun lalu.
Tembakau telah banyak mengubah kehidupan Parno saat ini. Selain menunaikan ibadah haji, kedua anaknya bisa melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi. Dimasa tuanya, Parno pun sudah memiliki beberapa tabungan dari hasil panen tembakau, seperti sapi hingga beberapa petak lahan kosong atau yang disebut dia sebagai 'tegal'.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News