KONTAN.CO.ID - JAKARTA/SURABAYA/REMBANG. Hari masih gelap. Matahari belum juga menyembul di ufuk timur langit Surabaya pada Selasa pagi (7/1) itu. Namun, kesibukan para pekerja di sebuah pabrik rokok di kawasan Rungkut, Kota Pahlawan itu telah dimulai.
Lalu lalang para pekerja mulai memenuhi area pabrik. Ribuan pekerja yang seluruhnya wanita berjalan teratur memasuki gerbang pabrik yang terbuka lebar.
Para buruh itu tampak kompak dalam balutan seragam berwana kuning list merah yang dipadu dengan celana panjang bewarna hitam.
Senyum hangat terpancar di wajah para pelinting rokok tersebut. Mereka pun bergegas memasuki bangunan pabrik untuk mengikuti apel pagi yang dipimpin seorang leader.
Tak lama berselang, mereka pun memulai rutinitas sehari-hari: melinting rokok. Para pelinting yang umumnya wanita paruh baya itu telah puluhan tahun menggantungkan hidupnya dari meracik tembakau di pabrik tersebut.
Profesi yang nampak sederhana itu bukan saja membuat dapur para pelinting tetap ngebul. Aktivitas melinting juga berhasil mengantarkan putra putrinya mencapai jenjang pendidikan tinggi hingga banyak pencapaian lainnya.
Keberadaan industri hasil tambakau (IHT) memang berperan penting dalam memberdayakan perekonomian masyarakat, terutama mereka yang berada di daerah penghasil tembakau. Belum lagi mereka yang bergerak di sektor onfarm atau pertanian tembakau.
Berdasarkan data Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) terdapat lebih dari 5,98 juta orang menggantungkan hidupnya dari ekosistem tembakau, mulai dari pertanian, rantai produksi, distribusi, hingga ritel dan periklanan.
Tentu saja penyerapan tenaga kerja hanya salah satu manfaat nyata yang dirasakan oleh daerah penghasil tembakau. Lebih dari itu, industri ini juga telah mengisi pundi-pundi penerimaan daerah, baik itu pendapatan pajak maupun dana bagi hasil cukai.
"Jelas semua itu memberikan dampak cukup besar terhadap perekonomian daerah," ujar Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachjudi kepada KONTAN.
Merujuk data Kementerian Keuangan, terdapat 20 daerah kabupaten/kota dengan alokasi DBHCHT terbesar di Indonesia sepanjang tahun 2024 lalu. Dari 20 daerah itu, sebanyak 13 kabupaten/kota berada di Provinsi Jawa Timur. Kemudian tiga di Jawa Tengah, tiga di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan satu di Jawa Barat.
Nirwala Dwi Heryanto, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan mengatakan, industri hasil tembakau telah menopang perekonomian daerah-daerah penghasil tembakau.
"Selain berkontribusi terhadap penerimaan cukai dan pajak, industri hasil tembakau juga sangat berperan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar ," ujar Nirwala kepada KONTAN, baru-baru ini.
Ambil contoh di Jawa Timur (Jatim). Setiap tahun, provinsi itu menjadi penerima dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) terbesar.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Jawa Timur, Iwan menyampaikan, IHT merupakan sektor yang memberikan pengaruh signifikan bagi perekonomian di Jatim, di mana sub-sektor industri pengolahan ini memberikan kontribusi terbesar kedua terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Industri Pengolahan Jatim.
Maklumlah, daerah ini masih mencatatkan diri sebagai provinsi dengan jumlah IHT terbanyak di Indonesia. Berdasarkan data dari Sistem Informasi Industri Nasional (SIInas) Kementerian Perindustrian (Kemenperin), IHT di Jawa Timur hingga akhir tahun 2024 berjumlah 1.352 unit industri.
Perinciannya, Industri Besar sebanyak 53 unit industri, Industri Menengah 18 unit, serta Industri Kecil berjumlah 1.281 unit industri.
Besarnya IHT di provinsi ujung timur pulau Jawa ini juga berpengaruh pada penyerapan tenaga kerja, baik di sektor hilir (offfarm), maupun di sektor hulu (onfarm).
Berdasarkan data dari Disperindag Jatim, penyerapan tenaga kerja dari sisi offfarm pada tahun 2023 tercatat sebanyak 90.000 orang Sementara di sektor onfarm melibatkan tenaga kerja hingga 387.000 petani dan buruh tani tembakau dan cengkeh di seluruh sentra-sentra produksi tembakau di Jawa Timur.
Sedangkan petani dan buruh tani khusus tembakau tercatat sekitar 279.000 orang. Jumlah tenaga kerja itu belum termasuk pekerja di sektor-sektor pendukung IHT, seperti distribusi dan retail yang mencapai ribuan tenaga kerja.
"Ini adalah sebuah penyerapan lapangan kerja yang luar biasa besar, dan tentunya ini membutuhkan pembinaan atau sentuhan-sentuhan dari pemerintah," ungkap Iwan saat ditemui KONTAN di kantornya, Senin (6/1).
Besarnya penyerapan tenaga kerja ini juga memberikan efek domino terhadap daya beli masyarakat, terutama mereka yang berkecimpung di IHT.
"Kalau tenaga kerja yang bergerak di industri hasil tembakau kami kira sangat sejahtera dan otomatis kesejahteraan itu akan berpengaruh terhadap peningkatan daya beli mereka" katanya.
Selain aspek tenaga kerja, IHT juga memiliki andil cukup besar dalam menopang perekonomian Jatim. Kondisi itu tercermin dari pertumbuhan ekonomi Jatim yang tercatat sebesar 4,9% year on year (yoy) di kuartal III-2024, sedikit di bawah pertumbuhan ekonomi nasional yang sebesar 5,03%. Pada periode tersebut, nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur atas dasar harga berlaku mencapai Rp 808,53 triliun, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp 492,43 triliun.
Lebih detail, komponen terbesar dalam struktur PDRB Jawa Timur adalah sektor industri pengolahan, di mana di dalamnya terdapat subsektor industri hasil tembakau yang berkontribusi sebesar 22,78% atau sebesar Rp 205,45 miliar. Kontribusi itu merupakan kedua terbesar setelah Industri makanan dan minuman yang tercatat sebesar 40,18%.
"Saya rasa ini yang harus dijadikan perhatian bahwa secara struktur PDRB kita di industri pengolahan, urutan yang kedua setelah makanan dan minuman ini ditopang oleh industri hasil tembakau," jelas Iwan.
Selain kontribusinya terhadap PDRB, peran IHT yang lain adalah kontribusinya terhadap penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) yang masuk ke kas negara. Tercatat CHT Jawa Timur tahun 2023 sebesar Rp 129,98 triliun. Dengan perolehan itu, Jawa Timur tercatat sebagai daerah dengan kontribusi terbesar terhadap penerimaan cukai nasional, yakni sebesar 60,88% dari total penerimaan cukai yang mencapai Rp 213,48 triliun.
Jawa Timur juga menjadi provinsi penerima Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) terbesar di Indonesia, yakni senilai Rp 2,77 triliun di tahun 2024. Kemudian diikuti Jawa Tengah Rp 1,09 triliun, Jawa Barat sebesar Rp 562,2 miliar dan Nusa Tenggara Barat (NTB) senilai Rp 459,18 miliar.
"DBHCHT ini kan merupakan dana pusat yang dibagi hasilkan ke daerah. Kami optimis di tahun 2025 juga akan bisa memberikan dampak yang signifikan terhadap masyarakat," katanya.
Iwan menjelaskan, DBHCHT ini dipakai untuk membiayai pelayanan kesehatan masyarakat, penegakan hukum hingga bantuan tenaga kerja kepada industri kecil menengah (IKM).
Sebagai penerima DBHCHT terbesar kedua, banyak daerah di Jawa Tengah juga menggantungkan perekonomiannya dari tembakau. Salah satunya Kabupaten Rembang yang berada di wilayah pesisir pantai utara Jawa. Selain banyak bercokol pabrik rokok, perekonomian daerah ini juga turut ditopang dari pertanian tembakau.
Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Rembang Agus Iwan Haswanto menyatakan, Rembang cocok buat budidaya tembakau lantaran 46,39% wilayahnya terdiri dari dataran rendah dengan musim panas panjang.
Saat ini, luas lahan tanam tembakau di Rembang mencapai 7.200 hektare (ha). "Luasan ini melibatkan sekitar 4.200 petani. Untuk produksi per hektare rata-rata di angka 1,5 ton-2 ton (tembakau) rajang kering," ujarnya kepada KONTAN, Kamis (9/1).
Adapun, perputaran uang dalam satu musim tanam tembakau (Maret-November) bisa mencapai Rp 600 miliar sampai Rp 1 triliun. Di tahun 2025 ini, Dinas Pertanian dan Pangan Rembang menargetkan peningkatan lahan tembakau menjadi 8.000 ha dengan produktivitas 2 ton per ha.
"Dari lahan seluas itu hasilnya nanti bisa mencapai 16.000 ton di tahun ini," ungkap Agus.
Kendati berkontribusi besar terhadap perekonomian, bukan berarti industri ini sepi dari masalah. Salah satu tantangan utama yang dihadapi industri ini adalah terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024. Melalui beleid ini, Pemerintah mengatur sejumlah larangan dalam penjualan rokok.
Sebut saja larangan penjualan 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, larangan iklan luar ruang 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak hingga pembatasan kadar tar dan nikotin.
"Larangan dan pembatasan dalam peraturan ini akan berdampak negatif pada kinerja IHT di masa depan," ujar Benny.
Di saat bersamaan, industri ini juga harus berjibaku melawan maraknya peredaran produk rokok ilegal.
Ketua umum Kamar Dagang Industri (Kadin) Jatim, Adik Dwi Putranto mengatakan, berbagai hambatan itu bakal menekan kinerja industri rokok. Sehingga, berdampak turunnya penyerapan tenaga kerja serta penerimaan pajak daerah.
"Kami berharap pemerintah untuk mengkaji ulang pasal-pasal di PP 28/2024 yang memberatkan industri rokok. Termasuk mengkaji ulang Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) yang akan menerapokan atiuran kemasan rokok polos." ujarnya kepada KONTAN, Selasa (7/1).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News