Berkontribusi bagi Perekomian, Industri Tembakau Masih Hadapi Banyak Tantangan

Berkontribusi bagi Perekomian, Industri Tembakau Masih Hadapi Banyak Tantangan
Ilustrasi. Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Nayoan. Senin, 23 Desember 2024 | 15:13 WIB

Reporter: Siti Masitoh

Editor: Putri Werdiningsih

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Industri hasil tembakau (IHT) telah lama menjadi salah satu pilar penting dalam perekonomian Indonesia.

Kontribusinya terlihat jelas melalui setoran penerimaan negara yang signifikan, termasuk cukai hasil tembakau (CHT), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan (PPh), hingga pajak daerah.

Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan mencatat, pada tahun 2023 dari CHT saja telah menyumbang Rp213,48 triliun terhadap penerimaan negara.

Kontribusi penerimaan tersebut, belum termasuk komponen pajak lainnya. Angka ini, kata Henry, telah mencerminkan lebih dari 10% dari total penerimaan pajak nasional, menjadikan sektor ini salah satu kontributor utama bagi kas negara.

“IHT memiliki peran yang sangat signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Terutama di sentra-sentra pertanian tembakau seperti Temanggung, Madura dan lainnya,” tutur Henry kepada Kontan, Senin (23/12).

Selain itu, industri ini juga memberikan dampak sosial yang luas. Lebih dari 5,98 juta orang bergantung pada IHT untuk mata pencaharian mereka.Mulai dari petani tembakau dan cengkeh, pekerja pabrik, distributor sampai ritel. Seluruh rantai pasok industri ini menciptakan lapangan kerja yang signifikan.

Baca Juga: Wiwik Kusaini: Melinting Demi Gelar Sarjana Sang Anak

Henry menambahkan, sektor sigaret kretek tangan (SKT) yang padat karya, misalnya, menyerap banyak tenaga kerja perempuan, terutama di daerah sentra produksi seperti Temanggung dan Madura.

Di luar kontribusi langsung pada perekonomian, IHT di daerah penghasil produk tembakau menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi lokal melalui peningkatan permintaan bahan baku, jasa pendukung, dan transportasi.

“Di sentra-sentra kota tersebut, IHT menjadi jaring pengaman sosial yang penting karena memberikan stabilitas perekonomian bagi keluarga,” ungkapnya.

Selain itu, banyak perusahaan yang membantu peningkatan kualitas pendidikan di daerah setempat seperti membangun fasilitas belajar, atau mengadakan pelatihan bagi guru. 

Beberapa perusahaan juga menjalin kemitraan dengan petani dan melakukan pendampingan agar memiliki kecakapan sehingga menghasilkan komoditas yang lebih baik.

Melalui dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT), daerah di sentra-sentra produksi memiliki dana tambahan yang sangat besar untuk pembangunan infrastruktur daerah.

Baca Juga: Lanjutkan Warisan Keluarga, Shaminudin Mengalap Berkah Dari Ladang Tembakau

Banyak tantangan

Meskipun kontribusinya besar, Henry menilai industri hasil tembakau menghadapi tantangan yang kian berat. Regulasi yang semakin ketat, seperti kenaikan tarif cukai, harga jual eceran (HJE), dan pajak, menjadi beban tambahan bagi sektor ini.

Hingga kini, Henry mencatat, terdapat lebih dari 480 regulasi yang mayoritas berisi pembatasan terhadap industri ini. Kebijakan seperti Peraturan Pemerintah No. 28/2024, yang membatasi kandungan tar dan nikotin, melarang bahan tambahan, serta penyeragaman kemasan, dinilai tidak sesuai dengan karakteristik unik produk tembakau Indonesia, khususnya kretek.

Henry menegaskan, tekanan regulasi yang semakin besar dapat mengancam keberlanjutan industri ini. Dengan regulasi yang semakin besar ditambah adanya kenaikan HJE, dan PPN yang dijadwalkan berlaku pada 2025 tidak dapat dilihat secara terpisah, karena semuanya saling berkaitan.

“Ketiga  beban kenaikan tersebut, tentu menambah berat bagi perusahaan sehingga akan berimplikasi pada harga produk. Jika produk rokok menjadi semakin mahal, ini akan berdampak pada berpindahnya orang mencari rokok murah seperti rokok ilegal,”tambahnya.

Beban tersebut akan semakin bertambah, mengingat daya beli masih lemah. Di sisi lain, kondisi perekonomian baik di Indonesia maupun di tingkat global juga belum stabil, sehingga berimplikasi para kemampuan daya beli.

Melihat tantangan tersebut, Henry menilai, industri tembakau membutuhkan relaksasi kebijakan agar bisa bertahan, serta pulih  pasca kenaikan tarif CHT yang terus menerus selama 2020-2024 dan pandemi Covid-19  yang hingga sekarang belum pulih.

“Kami pernah menyampaikan agar pemerintah tidak menaikkan tarif PPN di 2025, juga tidak menaikkan tarif CHT dan HJE selama 2025-2027. Tetapi, sampai saat ini, kenaikan PPN dan HJE masih terus berjalan,” harapnya.

Baca Juga: Dari Keraguan Hingga Kepercayaan, Kisah Sri Suyamto Menjadi Grader Tembakau Andal

Sebagai informasi, pada 2020 pemerintah menaikkan tarif CHT rata-rata sebesar 23%. Kenaikan ini menjadi salah satu yang tertinggi dalam beberapa tahun terakhir dan bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara sekaligus mengurangi prevalensi perokok.

Tarif CHT kembali naik dengan rata-rata 12,5%. Kenaikan ini dilakukan meskipun sektor industri masih berupaya pulih dari dampak pandemi Covid-19.

Pada 2022, tarif CHT dinaikkan rata-rata sebesar 12%. Pemerintah juga memperketat pengawasan terhadap produksi rokok ilegal sebagai langkah untuk mengimbangi dampak kenaikan tarif tersebut.

Sementara pada 2023, kenaikan tarif CHT dilanjutkan dengan rata-rata 10%, meskipun berbagai pihak dari industri menilai beban tersebut sudah cukup berat akibat tekanan regulasi sebelumnya dan daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih.

Terakhir, pada 2024, pemerintah mengumumkan kenaikan tarif CHT rata-rata sebesar 10%. Kenaikan ini mencakup sigaret putih mesin (SPM), sigaret kretek mesin (SKM), dan sigaret kretek tangan (SKT). 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

Jelajah Ekonomi Tembakau