KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ambisi Indonesia untuk membangun industri baterai kendaraan listrik dan menjadi pemain global bukan hal yang mudah. Maklum, baterai lithium untuk kendaraan listrik kini tak hanya berbasis bahan baku tertentu saja. Selain nikel, penggunaan baterai berbasis fero atau besi juga telah berkembang pesat.
Dus, Indonesia yang baru mencuatkan ambisinya setahun terakhir, akan berhadapan langsung dengan raksasa ekonomi dunia; China, yang telah lebih dulu terjun ke industri baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV).
Indonesia memilih mengembangkan baterai kendaraan listrik berbasis nikel-mangan-kobalt, atau NMC batteries. Kata Direktur Utama Indonesia Battery Corporation (IBC) Toto Nugroho, hampir 24% cadangan nikel dunia ada di Indonesia. Negeri ini juga punya cadangan mangan yang cukup besar dan sedikit kobalt.
Sementara China saat ini agresif menggeber industri baterai kendaraan listrik berbasis besi. Nama jenis baterainya lithium ferrophosphate battery atau LFP battery. Juga disebut Lithium Iron Phosphate Battery (LiFePO4). Hal ini lantaran negeri tirai bambu itu memiliki bahan baku bijih besi dan fosfat dalam jumlah besar.
Baca Juga: IBC, Ujung Tombak Industri Baterai Kendaraan Listrik Terintegrasi di Indonesia
Sebenarnya, China, kata CEO & Co-Founder PT Alessa Motors Nusantara Tindjaja Soetadji, lebih palugada alias apa lu mau gue ada. Semua bergantung pada keinginan dan pesanan pembeli.
Selain berbasis fero, China juga membuat dan memasarkan baterai kendaraan berbasis nikel. Bahan baku utamanya, ya, dari Indonesia.
"Hampir 60% hingga 70% baterai cell berbasis nikel yang diproduksi di dunia, bahan bakunya bisa dilacak ke Indonesia, ujar Toto kepada KONTAN (25/7).
Setelah pemerintah Indonesia melarang ekspor bijih nikel, investor China memang rajin membangun fasilitas produksi pengolahan bijih nikel untuk bahan baku baterai EV. Salah satunya di kawasan industri milik PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Hasil produksinya dikirim ke produsen baterai litium di China.
PT Huayue Nickel Cobalt yang memiliki kapasitas produksi 70.000 ton per tahun (Ni-Co) misalnya, memasok bahan baku katoda baterai EV ke Contemporary Amperex Technology Co (CATL) di China.
"Hasil produksinya dipasok ke China karena CATL ada disana," ujar Alexander Barus, CEO IMIP kepada KONTAN belum lama ini.
Nah, menurut Toto akhir-akhir ini tren penggunaan baterai berbasis nikel mulai tergerus dengan yang berbasis besi. Porsi baterai berbasis nikel menyusut dari 80% menjadi sekitar 60%.
Meski demikian, Toto yakin nikel tetap menjadi pilihan utama seiring tren penggunaan kendaraan listrik yang bakal terus meningkat. Saat ini baru 14% nikel yang diproduksi menjadi baterai EV. Pada 2030, diprediksi 40% produksi nikel akan dimanfaatkan di industri baterai kendaraan listrik.
Baca Juga: Berkat Baterai EV, Nikel Kadar Rendah Bakal Naik Status dari Paria Jadi Primadona
Asal tahu saja, kebanyakan produsen motor listrik di Indonesia saat ini menggunakan baterai berbasis fero. Bus listrik yang kini sudah wira-wiri di jalanan Jakarta juga menggunakan LFP battery.
Hermawan Wijaya, Direktur Marketing PT International Chemical Industry saat ditemui KONTAN di Pameran kendaraan listrik Periklindo Electric Vehicle Show (PEVS) 2022, Senin (25/7) menyebut, pihaknya juga memproduksi baterai EV berbasis Ferrophosphate.
Oh ya, PT International Chemical Industry, produsen Baterai ABC yang terkenal itu, bisa dibilang produsen sel baterai litium untuk kendaraan listrik pertama dan satu-satunya di Indonesia. Produksinya sudah dimulai sejak Maret 2022 di pabrik yang berada di Jl. Raya Daan Mogot KM. 11, Cengkareng, Jakarta Barat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News