KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri Hasil Tembakau (IHT) terbukti mampu berkontribusi besar terhadap perekonomian negara sekaligus membuka lapangan kerja dalam skala besar.
Sayangnya, nasib para pekerja di sektor IHT terancam seiring beratnya tantangan bisnis di industri tersebut.
Berdasarkan data dari Sistem Informasi Industri Nasional (SIINAS), IHT merupakan bagian dari industri padat karya yang mampu menyerap sebanyak 537.452 tenaga kerja secara langsung pada 2023.
Baca Juga: Buka Lapangan Kerja, Kemenperin Beberkan Upaya Pertahankan Industri Hasil Tembakau
Selain itu, tercatat ada 1.056.036 petani cengkeh dan 514.626 petani tembakau yang bekerja di sektor hulu industri pengolahan tembakau pada 2023.
Secara umum, terdapat 1.316 unit usaha di bidang IHT dengan 87% skala Industri Kecil Menengah (IKM) yang didominasi oleh jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT).
Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Henry Najoan mengatakan, produksi rokok nasional terus mengalami penurunan seiring masifnya kebijakan kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan Harga Jual Eceran (HJE). Pada 2019 lalu, produksi rokok nasional mencapai puncaknya yakni 356,5 miliar batang lantaran ketiadaan kenaikan tarif CHT.
Setelah itu, pada 2020 silam, akibat adanya kenaikan tarif CHT yang agresif yakni 23,5% dan Harga Jual Eceran (HJE) 35%, maka produksi rokok berkurang 6,9% menjadi 332 miliar batang.
Produksi rokok sempat tumbuh 0,9% pada 2021 menjadi 334,8 miliar batang lantaran pengaruh pandemi Covid-19.
Namun, produksi rokok nasional kembali turun 3,3% pada 2022 menjadi 323,9 miliar batang dan berlanjut turun 1,8% pada 2023 menjadi 318,1 miliar batang.
Baca Juga: Industri Tembakau dalam Galau: Antara Kontribusi Ekonomi dan Bayang-Bayang Regulasi
“Jika dilihat dalam lima tahun terakhir, produksi rokok selalu turun,” kata Henry kepada KONTAN, 13 Desember 2024.
Gappri juga menyampaikan, segmen yang paling terdampak oleh pengaturan tarif CHT adalah Golongan I. Produksi rokok Golongan I terus menurun karena harga jualnya sudah di atas nilai keekonomian.
Lihat saja, pada 2019 lalu, produksi rokok Golongan I mencapai 272,6 miliar batang. Namun, pada 2023 produksi rokok tersebut hanya mencapai 171,09 miliar batang.
“Kami belum mendapatkan data produksi tahun 2024, yang jelas laporan-laporan keuangan perusahaan rokok yang sudah go public juga menunjukkan bahwa semua terpangkas marginnya,” imbuh dia.
Tak hanya dihantam oleh tekanan kebijakan fiskal, IHT juga makin tertekan oleh penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tentang Kemasan. Salah satu poin kontroversi dari aturan tersebut adalah penerapan rokok kemasan polos di Indonesia yang dikhawatirkan justru membuat rokok ilegal makin menjamur.
Baca Juga: Antisipasi Rokok Ilegal, Kemenperin Godok Aturan Mesin Pelinting
Beleid ini juga mengatur pembatasan penjualan produk rokok. Dalam hal ini, rokok tidak boleh dijual dalam radius 200 meter dari sekolah atau tempat bermain anak-anak. Dari sudut pandang kesehatan, kebijakan tersebut ditujukan untuk menekan risiko konsumsi rokok bagi masyarakat di bawah umur.
Pada akhirnya, tekanan bertubi-tubi di IHT akan mengancam kelangsungan usaha para pekerja dan petani tembakau yang menggantungkan kehidupannya pada industri tersebut.
“Jika IHT terus mengalami penurunan kinerja, maka akan banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan dan para petani makin sulit memasarkan hasil panennya,” ungkap Henry.
Gappri pun berharap ada kebijakan yang seimbang serta mampu mempertimbangkan semua aspek, terutama terkait penyerapan tenaga kerja dan pendapatan negara. Selain itu, Gappri berharap pemerintah terus melakukan penegakan hukum terhadap rokok ilegal hingga ke level produsen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News