KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Era industri hijau sudah mulai. Geliatnya mulai terlihat. Cepat atau lambat, industri akan menyesuaikan diri dan mengadopsi tren ekonomi hijau tersebut.
Apalagi, pemerintah sudah mencanangkan target pengurangan emisi karbon atau emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030 mendatang.
Seperti diketahui, pada tahun 2016 silam, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Iklim Paris atau Paris Agreement yang di dalamnya terdapat komitmen Nationally Determined Contribution (NDC).
Komitmen tersebut kemudian dipertegas menjadi bagian dari dokumen perencanaan pembangunan nasional 2020 – 2024 dan menjadikan penanganan perubahan iklim sebagai salah satu agenda prioritas nasional.
Dengan kata lain, pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim telah menjadi agenda prioritas nasional dalam kegiatan pembangunan di Indonesia.
Baca Juga: Berkat Baterai EV, Nikel Kadar Rendah Bakal Naik Status dari Paria Jadi Primadona
Bukan itu saja, Indonesia menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030. Sektor strategis yang menjadi prioritas utama adalah sektor kehutanan, serta sektor energi dan transportasi yang telah mencakup 97% dari total target penurunan emisi NDC Indonesia.
Bahkan pada dokumen update NDC tahun 2021, melalui long term strategy – low carbon and climate resilience (LTS – LTCCR), Indonesia juga telah menargetkan untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) di tahun 2060 atau lebih awal.
Pada 29 Oktober 2021 silam, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga sudah mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK).
Hal ini menjadikan Indonesia sebagai penggerak pertama atau first mover penanggulangan perubahan iklim berbasis pasar di tingkat global menuju pemulihan ekonomi yang berkelanjutan.
"Penetapan Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) ini merupakan tonggak penting dalam menetapkan arah kebijakan Indonesia menuju target NDC 2030 dan NZE 2060 sebagai bagian dari ikhtiar menuju Indonesia Emas tahun 2045," kata Febrio Kacaribu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan dalam keterangan tertulis yang dikutip dari laman kemenkeu.go.id.
Menurut Febrio, dengan memanfaatkan first mover advantage tersebut, Indonesia akan menjadi acuan dan tujuan investasi rendah karbon di berbagai sektor pembangunan baik di sektor energi, transportasi, maupun industri manufaktur.
Melihat rencana besar ini, sepertinya industri-industri berbasis hijau akan menjadi primadona investasi masa depan.
Gayung bersambut, kini kita lihat makin banyak perusahaan atau industri manufaktur yang mulai mengadopsi industri hijau ini lewat sejumlah inisiatif.
Ambil contoh efisiensi sumber daya alam dan penerapan circular economy, pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) seperti biofuel, biomass dan refuse derived fuel (RDF) atau bahan bakar yang dihasilkan dari berbagai jenis limbah. Juga produksi produk-produk hijau.
Inisiasi itu pula yang sedang didorong Kementerian Perindustrian agar makin masif dikembangkan para pelaku industri.
Butuh komitmen kuat dari pemerintah dan juga kalangan industri untuk mewujudkan itu untuk membantu agar target Net Zero Emission (NZE) di tahun 2060 bisa tercapai.
Sebab, bagaimanapun green economy bukan sekedar akan menjadi tren, namun juga kebutuhan ke depan. Dus, tak akan ada tempat lagi bagi industri yang tidak menerapkan industri hijau di masa mendatang.
Baca Juga: Jelajah Ekonomi Hijau: Ingin Mengerem Impor BBM, Indonesia Memacu Kendaraan Listrik
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News