KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Intervensi teknologi dianggap bisa menjadi salah satu solusi dalam meningkatkan produksi pertanian Tanah Air. Namun, intervensi teknologi itu tak cukup sekadar canggih, tapi juga harus tepat guna.
Pengamat Pertanian Center of Reform on Economics (Core), Eliza Mardian mengatakan, penggunaan teknologi sebenarnya belum optimal, terutama di petani komoditas pangan.
“Jangankan teknologi pertanian, mayoritas petani padi kita yang usianya relatif tua telepon genggamnya saja belum android,” ujarnya kepada Kontan, Minggu (20/7).
Menurut Eliza, beberapa petani hortikultura dan perkebunan swasta sudah lebih banyak meneerapkan teknologi di setiap rantai produksi agar lebih efisien. Sebab, produksi mereka memang didesain untuk skala industri.
Misalnya, penggunaan GIS (Geographic Information System) dan sensor intenet of things (IoT) buat nganalisis kesuburan tanah, pemilihan varietas benih unggul, dan prediksi cuaca.
“Penggunaan aplikasi digital untuk prediksi cuaca dan pemilihan benih juga telah mengurangi risiko kegagalan tanam. Lalu, penggunaan mesin olah tanah, penanaman, penyiraman hingga pemanenan,” katanya.
Baca Juga: Upaya Petani Tulungagung Beradaptasi dengan Inovasi Teknologi
Sementara, petani pangan yang mayoritas subsiten dan menggarap lahan skala kecil itu masih manual. Teknologi yang baru digunakan para petani pangan secara masif adalah mesin olah tanah, seperti traktor dan pompa. Sementara, sisanya masih menggunakan tenaga manusia.
Menurut Eliza, penyebab rendahnya adopsi teknologi petani pangan disebabkan oleh kurangnya kesejahteraan mereka. Hal itu pun terindikasi dari nilai tukar petani pangan yang selalu di bawah petani sektor perkebunan dan hortikultura.
Namun, beberapa petani pangan di luar jawa yang luasan areal penanamannya besar, sudah mulai ada yang menggunakan mesin combine harvester karena bantuan pemerintah.
“Penggunaan drone juga akan lebih presisi dan efisien, tetapi dibutuhkan modal yang besar. Perlu ada inovasi dari dalam negeri yang bisa menyiptakan drone sederhana yang bisa bekerja optimal,” tuturnya.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengatakan, produktivitas pertanian di Indonesia masih rendah. Sepanjang tahun 2014-2019, rerata produksi padi tahunan turun 1,47%.
Lalu, pada tahun 2019-2024, rerata produksi padi tahunan hanya meningkat 0,04%. Sehingga, rata-rata dalam 10 tahun terakhir ini produktivitas padi kita turun 0,7% per tahun.
“Ini berarti ada masalah, karena sebelum tahun 2000-an, produktivitas padi Indonesia bisa yang tertinggi di ASEAN,” katanya kepada Kontan, Minggu (20/7).
Baca Juga: Upaya Menjaga Stabilitas Pasokan dan Harga Beras
Intervensi teknologi bisa dilakukan di sejumlah titik masalah. Yang paling efektif, kata Andreas, sebenarnya adalah inovasi teknologi untuk meningkatkan kualitas bibit.
Namun, bukan berarti mekanisasi alat pertanian tak bisa menjadi salah satu jalan keluar dari masalah produktivitas rendah. Mesin combine harvester, misalnya, bisa menurunkan kehilangan dalam produksi hingga 50%.
“Kalau panen manual, loss dalam produksi padi itu bisa sekitar 10% dari total panen. Jika pakai mesin itu, loss-nya bisa tinggal 5%,” ungkapnya.
Meskipun begitu, Andreas tak melihat bahwa petani harus punya alat pertanian canggih. Mereka hanya perlu menyewanya. Hal itu pun membutuhkan bantuan dari pemerintah atau pihak swasta.
“Subsidi dari pemerintah tak perlu dalam bentuk barang, tetapi bisa langsung dalam uang cair. Ini agar petani bisa mengelola sendiri apa saja yang mereka butuhkan di ladang secara tepat guna,” tuturnya.
Senada dengan Eliza, Andreas menggarisbawahi soal mewujudkan kesejahteraan petani sebelum menerapkan teknologi yang kelewat canggih untuk menggarap lahan.
“Jika produk mereka dihargai dengan pantas, tentu bisa menguntungkan petani. Otomatis, petani akan mampu menyerap berbagai inovasi teknologi terbaru,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News