KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah mendorong pengesahan Peraturan Presiden (Perpres) tentang tarif pembelian tenaga listrik energi baru dan terbarukan (EBT).
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana berharap, kehadiran aturan tersebut bisa memperjelas biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik.
"Dengan (aturan) ini akan jelas harganya berapa karena harga panas bumi di Jawa dengan regulasi yang ada sekarang ini tidak bisa masuk. Karena basisnya pakai biaya BPP setempat," kata Dadan kepada Kontan, beberapa waktu lalu.
Akibat kondisi tersebut, ada perbedaan BPP di tiap wilayah yang membuat biaya produksi menjadi lebih mahal. Terlebih, wilayah - wilayah tersebut juga mengandalkan bahan bakar minyak (BBM).
Baca Juga: Tekan Emisi Karbon, Pupuk Kaltim Gunakan Motor Listrik untuk Aktivitas di Perusahaan
Maka untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan Perpres yang akan mengatur tarif yang berlaku secara umum. Kehadiran aturan tersebut akan memangkas biaya listrik karena mengubah penggunaan bahan bakar fosil menjadi EBT.
"Nanti di tempat yang lain akan ada penghematan karena basisnya dari BBM seperti Maluku dan Riau. Bicara pulau besar, semua basisnya PLTU, gambaran harga BPP sangat rendah, tapi kalau di pulau - pulau kecil justru sedang," terangnya.
Selain Perpres, Kementerian ESDM juga mendorong Rancangan Undang - Undang (RUU) Energi Baru dan Terbarukan. Dadan mengatakan, pihaknya sedang mendalami penyusunan daftar inventarisasi masalah (DIM).
"Batasnya itu sampai 27 Agustus 2022, kemudian dikembalikan dari pemerintah ke DPR. Setelah itu dibuat Panitia Kerja (Panja), kemudian dibahas disitu antara pemerintah dan DPR," terangnya.
Ia berharap RUU tersebut bisa segera disahkan sebagai regulasi utama untuk mendorong pengembangan EBT di tanah air bersama dengan Perpres tentang tarif pembelian tenaga listrik EBT.
Tak cukup sampai itu, pihaknya juga tengah menggodok aturan pendukung lain. Salah satunya revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 70 Tahun 2009 Tentang Konservasi Energi.
Kemudian menyusun rancangan Peraturan Pemerintah (Permen) ESDM terkait co-firing untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batu Bara. Co-firing merupakan proses penambahan biomassa sebagai bahan bakar pengganti parsial atau campuran batu bara pada PLTU.
"Kami juga sedang merancang regulasi terkait peningkatan potensi pemanfaatan panas bumi. Ini banyak kaitannya dengan aspek - aspek pengelolaan dan tata kelola," paparnya.
Baca Juga: Melongok Geliat Industri Hijau Tanah Air
Ia juga menyebut, regulasi lain yang sedang digagas oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) terkait infrastruktur pendukung pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP).
Melalui aturan tersebut, diharapkan ada sinergi dari sisi pendanaan. Ia mencontohkan, pembangunan pembangkit panas bumi di gunung bisa didukung pendanaan pemerintah untuk pembangunan jalan.
"Jalannya juga bisa dipakai oleh masyarakat. Dengan begitu, kami juga bisa mendapatkan listrik PLTP yang lebih murah," lanjutnya.
Bahkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) juga telah menyediakan fasilitas fiskal berupa Penggunaan Dana Pembiayaan Infrastruktur Sektor Panas Bumi (PSIP) melalui PT Sarana Multi Infrastruktur.
Aturan ini mencakup perluasan fasilitas eksplorasi untuk pengembang swast, perluasan jenis risiko, penguatan koordinasi dan sinergi antar instansi terkait serta kolaborasi dengan lembaga domestik dan internasional.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News