KONTAN.CO.ID - MALANG. Hembusan angin menerpa wajah para petani di Kabupaten Malang. Kali ini, angin yang datang bukan sekadar tiupan alam, melainkan dari putaran baling-baling pesawat nirawak alias drone.
Pagi itu, para petani menggunakan drone untuk menyemprotkan pupuk cair dan pestisida ke tanaman padi di lahan mereka. Penyemprotan dilakukan pukul 10 pagi, waktu ideal bagi tanaman untuk menyerap embun berisikan vitamin itu.
Kehadiran drone pertanian saat ini utamanya digunakan untuk menyiramkan nutrisi cair dan menamam benih. Penggunaan semprotan drone dianggap lebih ideal dibandingkan penyemprotan menggunakan alat manual. Embun dari semprotan lebih halus dibandingkan alat semprot manual, sehingga membuat daun tanaman bisa menyerap nutrisi cair lebih efektif.
Dengan sprayer yang lebih halus, air yang digunakan sebagai larutan vitamin tanaman juga bisa lebih hemat hingga 90%. Cukup 10 liter untuk 1 hektare lahan. Waktu penyemprotan hanya sekitar 10 menit-15 menit.
Efektivitas dan efisiensi penyemprotan itu pun bisa meminimalisasi residu ke lingkungan di sekitar lahan dan residu yang terpapar ke para petani. Sehingga, kesehatan lingkungan dan para petani jadi bisa lebih terjamin.
Baca Juga: Ini Kata Pengamat Terkait Penerapan Teknologi di Bidang Pertanian
Hal utama yang paling diperhatikan dari penggunaan drone adalah ketinggian terbang dan arah angin. Ketinggian terbang drone minimal 3 meter dari pucuk tanaman. Operator juga harus memerhatikan agar embun dari semprotan drone bisa terbang dan jatuh ke tanaman sesuai dengan arah angin.
Penggunaan drone di industri pertanian dan perkebunan sebenarnya tak bisa dibilang baru. Perannya sudah dikenal untuk melakukan penyebaran benih, penyemprotan tanaman, dan pengamanan di wilayah kebun. Utamanya kebun tebu dan sawit. Efektivitas penggunaannya untuk tanaman perkebunan akhirnya membuat penggunaan drone juga merambah ke tanaman padi dan hortikultura.
Pemerintah Kabupaten Malang pun sudah cukup responsif terkait upaya aplikasi teknologi sebagai upaya meningkatkan produktivitas tanaman pangan di wilayah mereka.
Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Malang, Avicenna Medisica Saniputera mengatakan, pihaknya sudah mulai merambah ke penggunaan drone sebagai salah satu keterbaruan teknologi alat dan mesin pertanian (alsintan).
Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Malang sudah akan melakukan pengadaan satu alat drone yang bisa disewa oleh para petani yang membutuhkan, khususnya dalam pemberian pupuk dan pestisida.
Realisasi pengadaan drone oleh Pemkab Malang paling lambat di bulan November 2025. Sebelumnya, Pemkab Malang menyediakan drone ke petani lewat kerja sama dengan mitra swasta.
Baca Juga: Padi Pun Bersemai Subur di Desa Babadan
Avicenna menilai, penggunaan drone di industri pertanian sangat membantu petani untuk meningkatkan produktivitas tanaman. Sebab, hanya dengan satu operator drone, cakupan lahan yang dikerjakan bisa sampai 20 hektare dengan waktu kurang dari satu jam.
“Pengadaan drone ini kami pilih yang spesifikasinya memenuhi kebutuhan, bukan sekadar yang ada di pasaran,” katanya. Sebelum drone, Pemkab Malang sudah punya alsintan modern lain, seperti mesin transplanter, mesin combine harvester, tractor, dan hand tractor.
Tak hanya itu, Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Malang juga sudah mulai merambah pertanian digital alias smart farming berbasis teknologi Internet of Things (IoT).
Pada tahun 2024, Kabupaten Malang mendapatkan bantuan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk menerapkan IoT di pertanian melon. Komoditas melon dipilih lantaran budidayanya tak hanya ditujukan sebagai komoditas pangan, tetapi juga potensi pariwisata di Kabupaten Malang.
“Petani jadi tidak hanya menanam melon, tetapi juga tersentuh sisi agrowisatanya bisa berkenmbang denga baik,” tuturnya.
Smart farming itu juga diterapkan untuk budidaya kentang di Lereng Bromo. Tepatnya, di Dusun Jarak Ijo, Desa Ngadas, Kabupaten Malang.
Inovasi agritek itu tak hanya untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan, tetapi juga bertujuan untuk meningkatkan minat anak muda untuk menjadi petani. Per hari ini, total ada 300 ribu petani di Kabupaten Malang. Sebanyak 30 ribu di antaranya adalah petani milenial yang berusia di bawah 39 tahun.
Kerja sama Pemkab Malang dengan pemerintah pusat juga dijalankan melalui Program YESS (Youth Entrepreneurship and Employment Support Services). Program YESS diselenggarakan oleh Kementerian Pertanian. Sudah empat tahun program tersebut berjalan dan kerja sama itu dimanfaatkan Pemkab Malang untuk meningkatkan partisipasi petani milenial.
Dari 30.000 petani milenial di Kabupaten malang, sudah 13.000 petani milenial berbagai komoditas pangan yang terlibat Program YESS selama empat tahun terakhir. Dari program ini, Pemkab Malang menyediakan akses informasi terkait sejumlah kebutuhan onfarm dan offfarm, mulai dari alsintan, pupuk subsidi, hingga agritek ke kelompok tani.
“Mereka dilatih juga bagaimana mengembangkan kelembagaan dan bisnis. Ada materi digital marketing dan cara membuat proposal bisnis, bahkan untuk ekspor,” ungkapnya.
Baca Juga: Upaya Petani Tulungagung Beradaptasi dengan Inovasi Teknologi
Selain dengan pemerintah pusat, Pemkab Malang juga bekerja sama dengan akademisi dari beberapa universitas. Salah satunya lewat Program Gerakan Menanam Bersama Turun ke Sawah (Gema Bertuah) yang di lakukan pada tahun ini. Komoditas utama di program ini adalah padi di 10 lokasi di Kabupaten Malang dengan masing-masing lokasi seluas dua hektare. Lalu, komoditas jagung ada di 5 lokasi, dengan masing-masing juga seluas dua hektar.
“Program ini kolaborasi yang melibatkan petani milenial yang didampingi oleh akademisi dan Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Malang. Varietas padi yang digunakan adalah varietas unggulan, yaitu Sukma dan Kasima,” paparnya.
Dengan intervensi agritek yang dikombinasikan dengan benih unggul Sukma dan Kasima, ada potensi peningkatan produksi padi di Kabupaten Malang sekitar 30% di tahun ini. Sebagai gambaran, rerata produksi padi di Kabupaten Malang sekitar 6-7 ton sekali panen. Sehingga, potensi produksi setelah intervensi agritek dan benih unggul bisa menghasilkan rerata produksi padi sekitar 10 ton sekali panen.
“Dengan harga padi minimal Rp 6.500 per kilogram, petani bisa mengakumulasi Rp 65 juta dalam satu kali panen. Kalau setahun minimal dua kali panen, berarti akumulasinya Rp 130 juta,” ungkapnya.
Upaya intervensi agritek dalam meningkatkan produksi juga berusaha untuk diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Tulungagung. Sayangnya, Pemkab Tulungagung belum bersiap sejauh yang sudah dilakukan oleh Pemkab Malang.
Bupati Tulungagung, Gatut Sunu Wibowo mengatakan, saat ini pihaknya punya dua program andalan untuk meningkatkan produktivitas pertanian, yaitu Gerakan Tanam Organik (Genta Organik) dan Sistem Tanam Jajar Legowo.
Genta Organik fokus untuk mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia yang menurunkan kualitas tanah, sementara Sistem Tanam Jajar Legowo dilakukan agar tanaman padi bisa tumbuh optimal tanpa berhimpitan di dalam satu lahan.
Per Juni 2025, produksi komoditas unggulan di Kabupaten Tulungagung adalah jagung dan padi. Masing-masing rerata produksi sebesar 268.260 ton dan 175.800 ton.
Produksi 175.800 ton padi itu setara dengan 101.960 ton beras. Sementara, kebutuhan beras per bulan di Tulungagung sebesar 8.621 ton. Artinya, ada surplus 50.236 ton yang mencukupi kebutuhan di Kabupaten Tulungagung hingga 5 bulan ke depan.
Namun, Pemkab Tulungagung belum menerapkan intervensi agritek sebagai upaya meningkatkan produktivitas pertanian di wilayahnya. Hambatannya berasal dari keterbatasan infrastruktur, biaya yang relatif tinggi, serta kurangnya pengetahuan dan keterampilan para petani dalam mengoperasikan teknologi tersebut. Selain itu, usia para petani di Kabupaten Tulungagung yang mayoritas di atas 40 tahun.
Baca Juga: Harga Murah dan Pasokan Jadi Kunci Bisnis Pangan Ritel
Sebagai gambaran, jumlah petani di Tulungagung yang tergabung dalam kelompok tani sebanyak 103.914 orang, atau sekitar 9,31% dari total penduduk Tulungagung per 2024. Dari jumlah tersebut, hanya 11.465 petani milenial yang berusia di bawah 40 tahun.
Sama seperti Pemkab Malang, Pemkab Tulungagung juga bekerja sama dengan Kementan dalam Program YESS. Seluruh petani milenial di Kabupaten Tulungagung tercatat sudah mengikuti program ini.
Kegiatan Program YESS yang dilakukan di Kabupaten Tulungagung pada tahun 2024 di antaranya adalah workshop bisnis, manajemen bisnis start-up, literasi keuangan, penyusunan proposal bisnis, serta peningkatan kapasitas lanjutan pertanian untuk pakan ternak, pupuk organik, dan legalitas produk.
“Kami terus berupaya dalam mengadopsi teknologi untuk diterapkan secara luas di Kabupaten Tulungagung,” katanya.
Menjawab tantangan dan peluang itu, PT Bisi International Tbk (BISI) juga mulai merambah ke bisnis teknologi alsintan, khususnya drone. Lewat anak usahanya, BCTech, BISI melihat bahwa tantangan utama penurunan produktivitas pertanian berasal dari faktor alam dan manusia.
Selain perubahan iklim dan penurunan kualitas tanah, berkurangnya minat anak muda untuk menjadi petani membuat produksi tanaman pangan berkurang. “Regenerasi petani itu sangat rendah dan mayoritas petani sudah tua. Padahal, perkembangan zaman sudah menuntut adanya presisi, efektivitas, dan efisiensi untuk menurunkan risiko gagal panen,” Kata Direktur BCT, Sony Wibowo.
Saat ini, BCTech punya dua jenis tipe drone yang dipasarkan dan disewakan, yaitu tipe T25 dan T50. Keduanya bisa disewa oleh petani dengan harga Rp 250 ribu.
Ke depan, BCTech dan BISI akan terus melakukan riset untuk melihat teknologi apa yang cocok untuk diterapkan di pertanian Tanah Air. Kemungkinan besar, riset itu akan dilakukan dengan bekerja sama dengan negara-negara tetangga.
“(Tren teknologinya) akan ke IoT dan akal imitasi (AI) untuk pendukung pertanian. Dalam 1-2 tahun, AI sudah masuk ke agrikultur,” ungkap Sony.
Sejumlah petani yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Lumintu di Kecamatan Pakel, Kabupaten Tulungagung, pun berkesempatan untuk uji coba penggunaan drone milik BCT untuk menyemprot vitamin ke tanaman padi di lahan mereka.
Baca Juga: Upaya Menjaga Stabilitas Pasokan dan Harga Beras
Ketua Gapoktan Lumintu, Rukani mengatakan, mereka biasa menyewa alsintan dari pihak swasta. Alasannya, karena bantuan alsintan dari Pemerintah Kabupaten Tulungagung belum memadai untuk digunakan secara efektif saat masa panen dan pratanam tiba.
Rukani menyebut, sewa drone bertangki 21 liter yang sebesar Rp 250 ribu itu bisa digunakan untuk menyiram satu hektar lahan.
Biaya itu lebih murah daripada melakukan penyemprotan secara manual. “Per orang bisa dibayar Rp 300 ribu. Itu belum termasuk makan dan lainnya,” katanya.
Iklim yang ada di antara para petani juga sudah sangat ramah dengan teknologi. Bayangkan saja, informasi alat drone untuk membantu pertanian itu mereka dapatkan dari rekanan mereka. Artinya, keterbaruan atas informasi inovasi teknologi pertanian didapatkan para petani Gapoktan Lumintu secara mandiri.
Intervensi teknologi memang sudah dianggap menjadi jalan keluar untuk mengoptimalkan produktivitas pertanian di Indonesia. Namun, intervensi teknologi itu tak cukup sekadar canggih, tapi juga harus tepat guna.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengatakan, produktivitas pertanian di Indonesia masih rendah. Sepanjang tahun 2014-2019, rerata produksi padi tahunan turun 1,47%.
Lalu, pada tahun 2019-2024, rerata produksi padi tahunan hanya meningkat 0,04%. Sehingga, rata-rata dalam 10 tahun terakhir ini produktivitas padi kita turun 0,7% per tahun.
“Ini berarti ada masalah, karena sebelum tahun 2000-an, produktivitas padi Indonesia bisa yang tertinggi di ASEAN,” katanya kepada Kontan, Minggu (20/7).
Intervensi teknologi bisa dilakukan di sejumlah titik masalah. Yang paling efektif, kata Andreas, sebenarnya adalah inovasi teknologi untuk meningkatkan kualitas bibit.
Namun, bukan berarti mekanisasi alat pertanian tak bisa menjadi salah satu jalan keluar dari masalah produktivitas rendah. Mesin combine harvester, misalnya, bisa menurunkan kehilangan dalam produksi hingga 50%.
“Kalau panen manual, loss dalam produksi padi itu bisa sekitar 10% dari total panen. Jika pakai mesin itu, loss-nya bisa tinggal 5%,” ungkapnya.
Meskipun begitu, Andreas tak melihat bahwa petani harus punya alat pertanian canggih. Mereka hanya perlu menyewanya. Hal itu pun membutuhkan bantuan dari pemerintah atau pihak swasta.
“Subsidi dari pemerintah tak perlu dalam bentuk barang, tetapi bisa langsung dalam uang cair. Ini agar petani bisa mengelola sendiri apa saja yang mereka butuhkan di ladang secara tepat guna,” tuturnya.
Baca Juga: Memanfaatkan Limbah Sekam Padi Menjadi Bahan Bakar
Andreas pun menggarisbawahi soal mewujudkan kesejahteraan petani sebelum menerapkan teknologi yang kelewat canggih untuk menggarap lahan.
“Jika produk mereka dihargai dengan pantas, tentu bisa menguntungkan petani. Otomatis, petani akan mampu menyerap berbagai inovasi teknologi terbaru,” katanya.
Pengamat Pertanian Center of Reform on Economics (Core), Eliza Mardian mengatakan, penggunaan teknologi sebenarnya belum optimal, terutama di petani komoditas pangan.
“Jangankan teknologi pertanian, mayoritas petani padi kita yang usianya relatif tua telepon genggamnya saja belum android,” ujarnya kepada Kontan, Minggu (20/7).
Menurut Eliza, beberapa petani hortikultura dan perkebunan swasta sudah lebih banyak menerapkan teknologi di setiap rantai produksi agar lebih efisien. Sebab, produksi mereka memang didesain untuk skala industri.
Misalnya, penggunaan GIS (Geographic Information System) dan sensor IoT buat menganalisis kesuburan tanah, memilih varietas benih unggul, dan memprediksi cuaca.
“Penggunaan aplikasi digital untuk prediksi cuaca dan pemilihan benih juga telah mengurangi risiko kegagalan tanam. Lalu, penggunaan mesin olah tanah, penanaman, penyiraman hingga pemanenan,” katanya.
Sementara, petani pangan yang mayoritas subsiten dan menggarap lahan skala kecil itu masih manual. Teknologi yang baru digunakan para petani pangan secara masif adalah mesin olah tanah, seperti traktor dan pompa. Sementara, sisanya masih menggunakan tenaga manusia.
Baca Juga: Pakan Ternak hingga Forklift Listrik, Beras Raja Usung Penggilingan Berkelanjutan
Menurut Eliza, penyebab rendahnya adopsi teknologi petani pangan disebabkan oleh kurangnya kesejahteraan mereka. Hal itu pun terindikasi dari nilai tukar petani pangan yang selalu di bawah petani sektor perkebunan dan hortikultura.
Namun, beberapa petani pangan di luar jawa yang luasan areal penanamannya besar, sudah mulai ada yang menggunakan mesin combine harvester karena bantuan pemerintah.
“Penggunaan drone juga akan lebih presisi dan efisien, tetapi dibutuhkan modal yang besar. Perlu ada inovasi dari dalam negeri yang bisa menyiptakan drone sederhana yang bisa bekerja optimal,” tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News